Dari Mush’ab bin Sa’d, ia berkata : dulu, ketika aku ruku’, aku letakkan kedua tanganku di antara kedua lututku. Tiba-tiba Abu Sa’d melihat diriku (saat itu) maka (seusai shalat) ia pun melarangku (dari melakukan tindakan tersebut) seraya mengatakan : sesungguhnya kami pernah melakukannya kemudian kami dilarang (melakukan hal itu), kemudian kami diperintahkan untuk mengangkat kedua (telapak tangan kami) ke lutut (HR. Ibnu Khuzaimah, dan Diriwayatkan pula oleh imam al-Bukhari, 2/319, hadis no. 790, dan Imam Muslim, 5/22, hadis no. 1197)
@ Ihtisab dalam Hadis :
Dalam hadis ini terdapat banyak faedah dan pelajaran yang dapat dipetik yang terkait dengan masalah amar ma’ruf nahi munkar, di antaranya yang terangkum dalam poin berikut ini :
Pertama, berihtisab (amar ma’ruf nahi munkar) terhadapat orang yang melakukan tathbiiq (yaitu, menggabungkan jemari-jemari kedua tangan dan meletakkannya di antara kedua lutut saat ruku’, Umdatul Qari’, al-‘Ainiy, 6/63).
Kedua, Sikap perhatian orang yang beramar ma’ruf nahi munkar terhadap keadaan orang yang yang akan ditegakkan kepadanya amar ma’ruf nahi munkar.
Penjelasan :
- Berihtisab (amar ma’ruf nahi munkar) terhadapat orang yang melakukan tathbiiq saat ruku’
Para sahabat, (kala shalat) pernah meletakkan tangan-tangan mereka di antara lutut-lutut mereka pada saat ruku’, maka Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang mereka dari melakukan hal tersebut, dan dijelaskan bahwa yang sunnah ketika ruku’ adalah meletakkan telapak tangan di atas lutut.
Ini menunjukkan bahwa melakukan tathbiiq terlarang dan hal tersebut telah dihapus. Imam at-Tirmidzi –semoga Allah merahmatinya- mengatakan : yang diamalkan adalah seperti ini menurut ahli ilmu dari kalangan sahabat Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam-, para tabi’in dan generasi yang datang setelah mereka, tak ada perselisihan dalam hal tersebut di kalangan mereka, kecuali apa yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan sebagian sahabatnya, bahwa mereka melakukan tathbiq (Sunan at-Tirmidzi, 2/44).
Dalil yang menunjukkan bahwa tathbiq itu mansukh adalah perkataan Sa’d-semoga Allah meridhainya- : sesungguhnya kami pernah melakukannya kemudian kami dilarang (melakukan hal itu), kemudian kami diperintahkan untuk mengangkat kedua (telapak tangan kami) ke lutut. Pernyataan ini memiliki hukum marfu’ (kepada Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam), pernyataan ini jelas dan tegas menunjukkan mansukhnya hukum melakukan tathbiiq.
Oleh karena itu, tidak boleh meletakkan telapak tangan di antara lutut ketika ruku’, dan seorang muhtasib hendaknya mengingkari orang yang dilihatnya melakukan tathbiiq, mengajarinya petunjuk sunnah terkait dengan hal tersebut. Tindakan tathbiiq banyak terjadi dikalangan anak kecil, maka dari itu, seorang muhtasib wajib untuk mengajari anak-anaknya tata cara ruku’ yang benar, dan apabila ia melihat ada anak kecil di majid melakukan tathbiiq maka hendaknya ia mengajari mereka sunnah dalam hal itu, untuk membiasakan mereka menunaikan tata cara shalat yang benar sedari kecil.
- Sikap perhatian orang yang beramar ma’ruf nahi munkar terhadap keadaan orang yang yang akan ditegakkan kepadanya amar ma’ruf nahi munkar.
Sesungguhnya seorang muhtasib yang bijaksana hendaknya gemar dan bersemangat untuk memberikan petunjuk dan bimbingan kepada orang lain, mempergauli mereka dengan cara yang baik dan berakhlak yang baik, bermualah dengan mereka dengan muamalah yang baik pula, karena ia memiliki misi untuk melakukan ihtisab amar ma’ruf nahi munkar, menerapkan syariat Allah dalam bentuk menjauhkan mereka dari perkara yang diharamkan. Mendorong mereka kepada melakukan amal ketaatan dan kebaikan. Kesemua ini sulit terwujud kecuali bila seorang muhtasib bagus dalam bermuamalah dengan mereka, menghormati yang lebih tua dan memuliakannya, menyayangi yang lebih muda dan bersikap lembut kepadanya, memberikan hak kepada masing-masing yang berhak, dan juga memperhatikan keadaan mereka ; boleh jadi di antara mereka (ketika melakukan pelanggaran) karena belum mengerti bahwa yang dilakukannya tersebut merupakan kemungkaran, boleh jadi pula karena lupa, boleh jadi pula karena belum sampainya kepadanya tentang sebuah larangan atau sebuah perintah.
Karena, Ibnu Mas’ud pernah melakukan tathbiiq dan memerintahkan orang lain untuk melakukan hal tersebut, namun, sebagian ulama yang memberikan penjelasan mengenai hal tersebut memberikan uzur kepadanya bahwa “perkara yang menasakh tindakan tathbiiq tersebut belumlah sampai kepada beliau. imam an-Nawawi berkata : madzhab kami dan madzhab para ulama semuanya adalah bahwa yang sunnah adalah meletakkan kedua tangan di atas kedua lutut ; dan tidak disukainya melakukan tathbiiq (meletakkan kedua telapak tangan di antara kedua lutut saat ruku’), hanya saja Ibnu Mas’ud dan kedua sahabatnya ; Alqamah dan al-Aswad, mengatakan bahwa yang sunnah itu adalah melakukan tathbiiq; beliau dan kedua tamannya tersebut berpendapt demikian itu karena belum sampainya kepada mereka perkara yang menasakhkannya, yaitu hadis Sa’d bin Abi Waqqash-semoga Allah meridhainya-. Dan, pendapat yang benar adalah apa yang menjadi pendapat jumhur, karena telah validnya penasakh yang sangat jelas (Syarh Muslim, an-Nawawi, 5/18)
Demikianlah semestinya seorang muhtasib mencari seribu satu alasan terlebih dahulu, kemudian membimbing dan mengajari dengan cara yang terbaik. Hal ini tidak berarti bahwa seorang muhtasib menunda-nunda dalam melaksanakan kewajibannya (beramar ma’ruf nahi munkar), bahkan yang diharapkan adalah ia mengerahkan segenap kemampuan dan kecakapannya untuk menyingkirkan penghalang yang menghalangi manusia dari menerapkan syariat Allah.
Semoga Allah memberikan taufiq
Sumber :
Diterjemahkan dari “ al-Ihtisab Fii Shahih Ibni Khuzaemah”, karya : Abdul Wahab bin Muhammad bin Fayi’ ‘Usairiy, hal. 99-100
Amar Abdullah bin Syakir