Nafkah Haram Salah Satu Penyebab Keluarga Berantakan

Mencari nafkah adalah sebuah kewajiban bagi seorang laki-laki ketika ia menjadi kepala rumah tangga, maka pada pundaknya tanggung jawab sandang pangan seorang wanita yang telah disuntingnya, dan anak-anak buah hati mereka berdua nantinya.

Namun tujuan yang mulia ini, yaitu menafkahi anak istri tidak serta merta dimaknakan bahwa seorang kepala rumah tangga bebas memilih apapun caranya agar kebutuhan nafkah itu terpenuhi, atau dalam arti kata lain menghalalkan segala cara, namun yang benar adalah tujuan yang baik harus diusahakan dengan cara yang baik pula, maka menunaikan kewajiban mencari nafkah wajib dengan cara yang halal pula, karena jika dilakukan dengan cara yang haram, maka hasilnya menjadi haram pula, sedangkan Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.” (QS Al Baqarah: 172)

 

Kemudian, seorang lelaki harus memahami konsep rejeki, yaitu bahwa ketika rejeki itu dicari dengan cara yang haram, maka yang terjadi adalah hilangnya keberkahan dalam rejeki tersebut, kuantitas dan nominal yang didapat tidak akan membahagiakan hidup secara hakiki, padahal pada asalnya rejeki dicari untuk kebahagiaan, namun jika ia berasal dari haram maka hasilnya adalah sebaliknya, hidup akan terasa sempit padahal saldo rekening penuh, hubungan keluarga akan terus terasa panas padahal setiap sudut rumah telah terpasang pendingin ruangan, dan anak-istri menjadi tidak soleh-solehah dan penurut padahal segala kebutuhan mereka telah dipenuhi, semua itu terjadi karena efek negatif dari harta haram itu, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

قال صلى الله عليه وسلم: «إنه لا يربو لحم نبت من سحت إلا كانت النار أولى به» [رواه الترمذي (558) وصححه الألباني].

“Tidaklah suatu daging itu tumbuh dari yang haram kecuali neraka lebih pantas untuknya”. (HR Tirmidzi)

Maka anak dan istri yang diberi makan dari haram akan terpatri pada mereka sifat-sifat jelek dari makanan haram tersebut.

 

Terakhir, dalam usaha seorang lelaki dalam mencari nafkah hendaknya ia membarenginya dengan ketaatan kepada Rabb yang memberikan rejeki tersebut, maka jangan sampai pekerjaan melalaikan dari shalat, atau bahkan lebih dari itu hasil dari rejeki pekerjaan tersebut malah digunakan dan disalurkan untuk kebutuhan yang haram dan tidak bermanfaat, maka yang demikian malah akan menyumbat keran rejeki, karena maksiat dapat menghalangi terkabulnya doa-doa seorang hamba, padahal bukankah doa yang paling sering diminta oleh seorang lelaki adalah agar dimudahkan rejekinya?

Ambil sabda Nabi berikut sebagai renungan:

أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ، فَقَالَ: يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا ۖ إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ [المؤمنون: 51] وَقَالَ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ [البقرة: 172] ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ، يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ، يَا رَبِّ، يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ؟ ”

 

“Wahai manusia, sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik pula. Sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada kaum Mukminin seperti yang Dia perintahkan kepada para rasul. maka, Allâh Azza wa Jalla berfirman, ’Wahai para rasul! Makanlah dari (makanan) yang baik-baik, dan kerjakanlah kebajikan’ (al-Mu’minûn/23:51). Dan Allâh Azza wa Jalla berfirman,’Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari rizki yang baik yang Kami berikan kepada kamu’ (al-Baqarah/2:172). Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan orang yang bepergian dalam waktu lama; rambutnya kusut, berdebu, dan menengadahkan kedua tangannya ke langit, ‘Wahai Rabb-ku, wahai Rabb-ku,’ sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan diberi kecukupan dengan yang haram, bagaimana doanya akan dikabulkan?”. (HR Muslim)

 

Penulis:

Muhammad Hadrami, LC

Alumni Fakultas Syariah LIPIA JAKARTA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *