Mengingkari kemungkaran yang terjadi didepan mata merupakan sebuah kewajiban yang tak asing lagi ditelinga setiap muslim, yang mana kewajiban tersebut berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam:
عَنْ أَبِي سَعِيْد الْخُدْرِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ
[رواه مسلم]
Dari Abu Sa’id Al Khudri radiallahuanhu berkata : Saya mendengar Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam bersabda: Siapa yang melihat kemunkaran maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya, jika tidak mampu maka mengubah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman. (Riwayat Muslim)
Namun jika diperhatikan lebih seksama, maka didapati bahwa lafaz kemungkaran pada hadits diatas masih bersifat bias, tidak memiliki definisi dan penjelasan mengenai kemungkaran itu sendiri, maka dalam keadaan seperti ini kewajiban kita adalah kembali kepada penjelasan Ulama yang mana mereka adalah ahli waris para nabi,
“فالمنكر الذي يجب على الأمة تغييره هو ما خالف الشرع كتاباً وسنةً مخالفة قطعية”. (فقه تغيير المنكر ص 53)
“Kemungkaran yang wajib bagi umat untuk mengingkarinya adalah apa-apa yang menyelisihi syariat Al Qur’an dan As Sunnah dengan pasti (gamblang tanpa kemungkinan tidak).
Kemudian kemungkaran diatas juga bersifat umum, sehingga mencakup kemungkaran yang berskala besar atau kecil, semuanya wajib untuk dihilangkan, namun dalam keadaan yang bercampur aduk maka yang diutamakan adalah mengingkari suatu kemungkaran yang besar kemudian yang lebih kecil darinya dan seterusnya. Begitu juga kemungkaran yang bersifat menyebar maka diingkari terlebih dahulu dari kemungkaran yang sifatnya pribadi.
Namun perlu diketahui bersama, bahwa meninggalkan kewajiban lebih besar daripada melakukan kemungkaran, maka seseorang yang kedapatan meninggalkan kewajiban harus diingkari terlebih dahulu ketimbang orang yang bermaksiat, seperti Iblis yang terlaknat dan terkutuk hingga akhir zaman karena meninggalkan sebuah kewajiban dari perintah Allah padanya untuk sujud kepada Adam, sedangkan Adam hanya terusir dari surga karena kemungkaran yang dilakukan olehnya adalah melanggar larangan, yaitu memakan buah terlarang.
Dan kewajiban mengingkari kemungkaran juga tidak memandang siapa pelakunya, apakah itu laki-laki maupun wanita, anak kecil ataupun orang tidak berakal, selama perbuatan yang dilakukannya merupakan kemungkaran dan dapat menimbulkan kerusakan maka wajib untuk dicegah.
Apakah Makruh Sebuah Kemungkaran?
Tidak, perkara yang makruh tidak masuk kategori kemungkaran sehingga harus diingkari, karena makruh jika dilakukan tidak berdosa, namun terhadap pelaku makruh ditempuh dengan jalan nasehat dan diskusi, sehingga ia meninggalkan perkara yang dibenci (makruh) itu kepada amalan yang sunnah, dicintai dan berpahala.
Kesimpulan ini berdasarkan hadits berikut:
يُجَاءُ بِرَجُلٍ فَيُطْرَحُ فِي النَّارِ فَيَطْحَنُ فِيهَا كَطَحْنِ الْحِمَارِ بِرَحَاهُ فَيُطِيفُ بِهِ أَهْلُ النَّارِ فَيَقُولُونَ أَيْ فُلَانُ أَلَسْتَ كُنْتَ تَأْمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَى عَنْ الْمُنْكَرِ فَيَقُولُ إِنِّي كُنْتُ آمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَلَا أَفْعَلُهُ وَأَنْهَى عَنْ الْمُنْكَرِ وَأَفْعَلُهُ
“Akan didatangkan seseorang, kemudian dia dilempar ke dalam neraka, lantas disana ia berputar-putar sebagaimana keledai menarik alat penggilingan, maka penghuni neraka mengelilingi orang tersebut dan bertanya; ‘Hai fulan, bukankah kamu dahulu pernah memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran? ‘ Ia menjawab; ‘ya, saya dahulu memerintah kebaikan, namun aku tidak mengerjakannya, dan aku melarang kemungkaran, namun justru aku melakukannya.'” (HR Bukhari)
Dari hadits diatas, jelaslah bahwa yang mendapat hukuman adalah orang yang menyeru kepada makruf namun ia tidak melakukannya, dan melarang dari yang munkar namun ia malah melakukannya, jadi yang dihukum adalah hal yang jelas munkar lagi terlarang.
Terakhir, Apakah Perkara Khilaf Diingkari?
Jawabannya terperinci menjadi dua:
Pertama
Permasalah yang diperselisihkan (khilaf), namun perselihan pada permasalahan tersebut lemah dan tidak diperhitungkan, contohnya seperti pandangan sebagian ulama akan halalnya bunga bank. Maka yang demikian tetap diingkari, tetap dikatakan riba adalah haram, dan orang yang memakan riba berarti memakan harta haram, maka wajib baginya untuk bertaubat dan meninggalkan praktek riba tersebut.
Kedua
Permasalahan yang perselisihan (khilaf) padanya kuat, seperti permasalahan qunut subuh, menjaharkan basmalah, dsbg. Maka yang demikian tidak diingkari, bahkan tidak boleh mengingkarinya, karena masalah-masalah yang demikian didiskusikan bukan dipaksakan antar satu madzhab ke mazhab fikih lainnya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“والإنكار في مسائل الخلاف غير سائغ,لا سيما على من كان متقيداً بمذهب من يرخص فيها, أو قد تفقه فيها ورأى الدليل يقتضي جوازها”. (الفتاوى الكبرى لابن تيمية 92/6)
“Dan pengingkaran pada masalah khilaf tidaklah dibenarkan, apalagi kepada orang yang terikat pada madzhab yang membolehkan, atau orang yang sudah mendalami fikih permasalah tersebut dan mendapati bahwasanya dalil menunjukkan kebolehannya”.
Jadi, Amar Makruf Nahi Munkar juga ada fikihnya, sehingga tidak terjadi permasalahan yang baru di lapangan karena salah kaprah dalam mengingkari suatu perkara yang ternyata bukan termasuk kategori munkar.
Semoga Allah Ta’ala senantiasa menguatkan barisan kaum mukminin yang menjaga umat dari kehancuran sebab maksiat, dan mengetuk hati kaum muslimin lainnya yang masih hanyut dalam arus maksiat.