Bersemangat Mengikuti Sunnah

Dari Hafsh bin Ashim, ia berkata, ‘menceritakan kepadaku ayahku, ia berkata, aku pernah bersama dengan Ibnu Umar dalam sebuah perjalanan jauh, maka beliau melaksanakan shalat Zhuhur dan Asar masing-masing dua rakaat, kemudian beliau beranjak ke Thinfisatin miliknya, maka beliau melihat sekelompok orang tengah bertasbih, ia pun bertanya : apa yang tengah dilakukan mereka ? aku pun menjawab : mereka tengah bertasbih (maksudnya, mengerjakan shalat sunnah saat safar). Beliau berkata lagi :  kalaulah aku melaksanakan shalat sebelumnya atau setelahnya niscaya aku akan menyempurnakannya. Aku pernah menemani Rasulullah (dalam sebuah perjalanan jauh), maka beliau melaksanakan shalat tidak lebih dari dua rakaat. Demikian pula aku pernah menemani Abu Bakr, Umar dan Utsman, demikian juga (yakni, melakukan shalat wajib yang empat rakaat tidak lebih dari dua rakaat saat safar) [1]

  • Ihtisab di dalam Hadis

Dalam hadis ini terdapat banyak faedah dan pelajaran yang dapat dipetik yang terkait dengan masalah amar ma’ruf nahi munkar, di antaranya yang terangkum dalam  poin berikut ini :

Pertama, berihtisab terhadap orang yang melaksanakan shalat rowatib ketika bepergian jauh

Kedua, Peneladanan seorang muhtasib terhadap sunnah Nabi, dan sunnah para khulafaa ar-Rasyidin, serta bersemangat dalam melakukannya.

& Penjelasan :

  • Berihtisab terhadap orang yang melaksanakan shalat rowatib ketika bepergian jauh

Ibnu Hajar mengatakan : imam an-Nawawi menukil-mengikuti yang lainnya- bahwa para ulama berbeda pendapat dalam hal menghukumi pelaksanaan shalat sunnah ketika tengah bepergian jauh menjadi tiga pendapat ; (1) ada yang melarang secara mutlak, (2) ada yang membolehkan secara mutlak dan (3) ada yang membedakan antara shalat sunnah rowatib dan shalat sunnah mutlak; di mana ini adalah mazhab Ibnu Umar sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shahih, bersumber dari Mujahid , ia berkata  aku pernah menemani Ibnu Umar dari Madinah ke Makkah, beliau melaksanakan shalat sunnah di atas kendaraannya kemanapun arahnya. Namun, bilamana shalat yang akan dikerjakannya adalah shalat wajib maka beliau turun dari kendaraannya lalu melaksanakan shalat. Dan mereka lupa pendapat yang keempat, yaitu beda antara shalat yang dilakukan di malam hari dan shalat yang dilakukan di siang hari. Pendapat kelima, yaitu yang kami telah selesai dari menetapkannya. [2]

Dari sini, jelaslah bahwa Ibnu Umar tidaklah berpandangan disunnahkannya mengerjakan shalat (sunnah) rowatib ketika tengah bepergian jauh, di mana beliau mengatakan : “kalaulah aku melaksanakan shalat sebelumnya atau setelahnya niscaya aku akan menyempurnakannya”

Ungkapan ini maksudnya, bahwa kalau saja beliau boleh memilih menyempurnakan shalat (yakni, empat rokaat)  dan mengerjakan shalat sunnah rowatib (ketika safar) tentunya menyempurnakan shalat tersebut lebih disukainya, akan tetapi beliau memahami bahwa mengqosor shalat merupakan sebuah keringanan (yang semestinya diambil). Oleh karena itu, beliau tidak melakukan shalat sunnah rowatib dan tidak pula menyempurnakan shalat wajib yang jumlah rakaatnya 4 rakaat, beliau mengerjakannya secara qashar, menjadi dua rakaat. [3] oleh karena itu, Abdullah bin Umar mengingkari tindakan orang yang melakukan shalat sunnah rawatib ketika tengah safar, karena beliau berpandangan bahwa hal tersebut bukan termasuk sunnah.

Maka, bila seorang muhtasib berpandangan dengan pendapat ini maka hendaknya ia berihtisab terhadap orang yang melaksanakan shalat ketika tengah bepergian jauh. Hanya saja, sebagian ulama berpandang bahwa tindakan tersebut tidak diingkari. Hal demikian itu karena adanya beberapa hadis yang menunjukkan bahwa Nabi melaksanakan shalat rowatib pada sebagian safarnya.

Sebagian ulama berpandangan bahwa seorang musafir memiliki keluasan dalam hal ini, jika mau ia boleh melakukan shalat sunnah rowatib, jika mau ia pun boleh untuk meninggalkannya. Wallahu a’lam[4]

  • Peneladanan seorang muhtasib terhadap sunnah Nabi, dan sunnah para khulafaa ar-Rasyidin, serta bersemangat dalam melakukannya.

Hadis ini juga menunjukkan kesemangatakan seorang shahabat Nabi yang mulia, Abdullah bin Umar dalam berpegang teguh terhadap Sunnah Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- saat safar dan saat tidak safar dan dalam setiap keadaannya, dan berhujjahnya beliau dengan perbuatan yang dilakukan oleh Abu Bakar, Umar dan Utsman. Ia berkata, “Demikian pula aku pernah menemani Abu Bakr, Umar dan Utsman, dekimian juga (yakni, melakukan shalat wajib yang jumlah rakaatnya 4 rokaat hanya dilakukan dua rakaat saja saat safar). Telah menjadi maklum adanya bahwa Ibnu Umar termasuk kalangan sahabat yang paling banyak melakukan ibadah, hanya saja ketika dalam keadaan safar beliau tidak mengerjakan shalat rawatib, sebagai bentuk pengamalan mengikuti sunnah Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam. Yang menjadi manhaj beliau adalah firman Allah azza wajalla,

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu [5]

Dari Umayyah bin Abdillah bin Khalid, bahwasanya ia berkata kepada Abdullah bin Umar, ‘sungguh kami dapati keterangan tentang shalat (wajib) ketika tidak sedang bepergian dan shalat khauf dalam al-Qur’an, sementara kami tidak menemukan shalat safar di dalam al-Qur’an, maka Abdullah bin Umar mengatakan kepadanya : wahai anak saudaraku, sesungguhnya Allah azza wajalla telah mengutus Muhammad –shallallahu ‘alaihi wasallam- kepada kita, sementara kita tidak mengetahui apa pun. Sesungguhnya kita hanya melakukan sebagaimana apa yang kita lihat Muhammad-shallallahu ‘alaihi wasallam- lakukan[6]

Demikianlah manhaj Abdullah bin Umar –semoga Allah meridhainya- dalam meneladani Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam, dan demikianlah pula semestinya yang dilakukan oleh para dai dan orang-orang yang beramar ma’ruf nahi munkar.

Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita.

Wallahu a’lam

Penulis : Amar Abdullah bin Syakir

Sumber :

Al-Ihtisab Fii Shahih Ibni Khuzaaemah, Abdul Wahhab bin Muhammad bin Fa-yi’ ‘Usairiy (hal.211-112)

[1]  HR. al-Bukhari –secara ringkas-,2/672, hadis no.1102, Muslim, 5/203-204, hadis no. 1577, penyebutan hadis yang cukup panjang disebutkan oleh Abu Dawud, 2/15, hadis no. 1223, an-Nasai, 3/139, hadis no. 1457, Ibnu Majah, 1/560-561, hadis no. 1071; dan Ahamd, 2/56

 

[2] Fathul Baariy, Ibnu HAjar, 2/674

[3] idem

[4] Lihat, Ihkamu al-Ahkam, Ibnu Daqiq al-‘Ied, 2/103

 

[5] Qs. Al-Ahzab : 21

[6] HR. Ibnu Khuzaemah, 2/72, hadis no. 946, an-Nasa-I,3/132, hadis no. 1433; ibnu Majah, 1/558, hadis no. 1066. Hadis ini isnadnya dishahihkan oleh al-Albaniy, seperti dalam ta’liqnya terhadap shahih ibnu Khuzaemah,2/72

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *