Persoalan bolehkah membawa anak-anak ke masjid di waktu-waktu shalat berjamaah akhir-akhir ini sering diributkan oleh sebagian jamaah masjid atau DKM masjidnya sendiri, diantara mereka ada yang serta-merta melarang secara mutlak agar para jamaah tidak membawa anak-anak mereka ke masjid, dengan alasan dapat mengganggu kekusyukan shalat dsbg, namun disatu sisi juga sebagian jamaah yang biasa membawa anak merasa tersinggung dengan pelarangan tersebut, karena mereka merasa memiliki hak untuk membawa anak-anak mereka untuk tujuan tarbiyah, yakni mengenalkan dan membiasakan si buah hati untuk mencintai shalat dan masjid dsbg, jadi bagaimanakah jalan keluarnya? Adakah tuntunan salaf pada masalah ini? Berikut jawabannya:
Pertama: Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Melakukannya.
Dalam hal ini, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bukan hanya membolehkan para sahabat membawa anak-anak, bahkan beliau sendiri juga membawa anak-anak, yaitu cucu beliau Hasan dan Husein Radhiyallahu ‘Anhumaa. Sebagaimana yang disebutkan didalam hadits,
عن شداد رضي الله عنه قال: خرج علينا رسول الله صلى الله عليه وسلم في إحدى صلاتي العشي الظهر أو العصر وهو حامل حسناً أو حسيناً، فتقدم النبي صلى الله عليه وسلم فوضعه عند قدمه ثم كبر للصلاة، فصلى، فسجد سجدة أطالها!! قال: فرفعت رأسي من بين الناس، فإذا الصبي على ظهر رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو ساجد! فرجعت إلى سجودي، فلما قضى رسول الله صلى الله عليه وسلم الصلاة، قال الناس: يا رسول الله إنك سجدت سجدة أطلتها حتى ظننا أنه قد حدث أمر أو أنه يوحى إليك؟ قال: “كل ذلك لم يكن، ولكن ابني ارتحلني، فكرهت أن أعجله حتى يقضي حاجته” (رواه النسائي والحاكم وصححه ووافقه الذهبي(
Dari Syaddad Radhiyallahu ‘Anhu meriwayatkan, bahwa Rasulullah datang – ke masjid- saat shalat Isya atau Zuhur atau Asar sambil membawa -salah satu cucunya- Hasan atau Husein, lalu Nabi maju kedepan untuk mengimami shalat dan meletakkan cucunya di sampingnya, kemudian nabi mengangkat takbiratul ihram memukai shalat. Pada saat sujud, Nabi sujudnya sangat lama dan tidak biasanya, maka saya diam-diam mengangkat kepala saya untuk melihat apa gerangan yang terjadi, dan benar saja, saya melihat cucu nabi sedang menunggangi belakang nabi yang sedang bersujud, setelah melihat kejadian itu saya kembali sujud bersama makmum lainnya. Ketika selesai shalat, orang-orang sibuk bertanya, “wahai Rasulullah, baginda sujud sangat lama sekali tadi, sehingga kami sempat mengira telah terjadi apa-apa atau baginda sedang menerima wahyu”. Rasulullah menjawab, “tidak, tidak, tidak terjadi apa-apa, cuma tadi cucuku naik ke punggungku, dan saya tidak mau memburu-burunya sampai dia menyelesaikan mainnya dengan sendirinya.” (HR: Nasa’i dan Hakim)
Dari hadits diatas dapat dipahami juga, bukan hanya beliau membolehkan membawa anak-anak, bahkan beliau tidak merasa terganggu shalatnya padahal cucu beliau bermain-main diatas punggung beliau, maka apakah dalam hal ini ada yang lancang berkata bahwa shalat Nabi diatas tidak khusyu’?
Kedua: Beliau Tidak Melarang Kaum Ibu yang Membawa Bayi
وفي حديث آخر أن النبي صلى الله عليه وسلم: جوّز ذات يوم في الفجر -أي خفف- فقيل: يا رسول الله، لم جوزت؟! قال: “سمعت بكاء صبي فظننت أن أمه معنا تصلي فأردت أن أفرغ له أمه” (رواه أحمد بإسناد صحيح)
Pada hadist lain diriwayatkan bahwa Nabi memendekkan bacaannya pada saat shalat Subuh (dimana biasanya selalu panjang), lalu sahabat bertanya: “Ya Rasulullah mengapa engkau mempersingkat shalat? Rasulullah menjawab, “saya mendengar suara tangis bayi, saya kira ibunya ikut shalat bersama kita, maka saya ingin supaya ia cepat diurus oleh ibunya.” (HR: Ahmad)
Dalam hal ini Syaikh Bin Baz Rahimahullah berkata:
لا حرج في ذلك؛ لأن من طبيعة الطفل أنه يحصل منه هذا الشيء، وكان الأطفال في عهد النبي صلى الله عليه وسلم يسمعهم النبي، ويسمع صراخهم ولم يمنع أمهاتهم من الحضور، بل ذلك جائز ومن طبيعة الطفل أنه يحصل له بعض الصراخ،
“Tidak masalah membawa anak-anak ke masjid, adapun masalah kegaduhan, maka hal itu memang tabiat anak kecil, dan dijaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam gaduh mereka juga didengan oleh beliau, dan beliau juga mendengar teriakan mereka, namun tidak serta-merta beliau melarang kaum ibu untuk datang shalat berjamaah. Maka hal ini dibolehkan, dan memang tabiat anak kecil kegaduhan dan teriakan”.
Jadi, apakah kita merasa paling sesuai dalam memakmurkan masjid dari beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam?
Ketiga: Jika Si Anak Memang Keterlaluan
Ini adalah jalan tengah dari permasalahan ini, karena memang tidak dapat dipungkiri juga bahwa sebagian anak sangat susah diatur, sehingga berdampak kepada ketenangan suasana shalat berjamaah, untuk itu dalam hal ini Syaikh ‘Utsaimin Rahimahullah mengatakan:
إذا كان الأطفال يشوشون على الحاضرين، فإنه لا يجوز لأوليائهم أن يأتوا بهم إلى المساجد، لأن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم منع آكل البصل من قربان المسجد، وعلل ذلك بأنه أذية، قال: إن الملائكة تتأذى مما يتأذى منه الإنسان ـ فكل ما يؤذي المصلين فإنه لا يجوز إحضاره .(اللقاء الشهري ٣٧/٢٨)
“Apabila anak-anak itu menggangu jama’ah, maka para orangtua tidak boleh membawa mereka ke masjid, sama seperti halnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam melarang untuk mendekati masjid orang ya memakan bawang, dan beliau berkata: sesungguhnya para malaikat ikut terganggu dengan apa yang mengganggu manusia. Maka apapun itu yang dapat mengganggu orang-orang yang shalat maka tidak boleh dibawa”.
Jadi pada intinya membawa anak kecil ke masjid secara asal hukumnya dibolehkan, meskipun anak tersebut belum mencapai umur tamyiz (7 tahun), karena terdapat tarbiyah islamiyyah yang penting dalam hal ini, agar ke depannya ketika anak tersebut menginjak usia baligh, ia sudah mengenal mesjid dan tidak merasa asing didalamnya, namun perlu digarisbawahi bagi orangtua untuk memberikan pengertian kepada anak sebelum membawa mereka ke masjid untuk menjaga ketertiban dan tidak menganggu orang yang shalat. Adapun hal-hal yang menjadi kebiasaan anak kecil, seperti menangis, merangkul-rangkul, dsbg maka hal tersebut dimaklumi, dan kedewasaan jamaah lah yang dituntut, karena khusyu’ tidak berarti harus berada diruang hampa, namun khusyu’ adalah hati yang fokus dan tenang.
Muhammad Hadhrami Achmadi