Tidak Sepatutnya Memberatkan

Sampai berita kepada ‘Aisyah –semoga Allah meridhainya- bahwa Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash –semoga Allah meridhainya- memerintahkan istri-istrinya untuk menguraikan rambut kepala mereka ketika mandi janabah. Maka, Aisyah pun berkomentar : alangkah mengherankannya apa yang diperintahkan oleh Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash (terhadap para istrinya) ini!. Ia telah membebani mereka (para istrinya) dengan sesuatu yang merepotkan, apakah tidak sebaiknya ia memerintahkan mereka untuk menguris rambut kepala mereka saja? sungguh aku pernah bersama Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam- mandi bersama dari satu bejana, kami masuk ke dalam bejana yang berisi air tersebut bersama-sama, aku menciduk air dengan kedua telapak tanganku sebanyak 3 kali cidukan.  (HR. Ibnu Khuzaemah. Diriwayatkan juga oleh Imam Muslim, 3/237-238, hadis no. 745)

 Ihtisab di dalam Hadis

Di dalam hadis di atas terdapat banyak faedah dan pelajaran yang dapat dipetik yang terkait dengan masalah amar ma’ruf nahi munkar, di antaranya yang terangkum dalam  beberapa poin berikut ini :

1. Seorang muhtasib hendaknya memberikan kemudahan kepada kaum Muslimin dan tidak membebani mereka dengan sesuatu yang akan memberatkan mereka.

2. Di antara bentuk gaya seorang muhtasib untuk mengingkari adalah dengan menggunakan “ungkapan kata yang menunjukkan keheranan dan pertanyaan”.

3. Di antara sifat seorang muhtasib adalah menjaga kesucian dan kebersihan diri.

4. Hendaknya seorang muhtasib membantah orang yang menyelisihi (syariat) dengan dalil syar’i.

Penjelasan :

Seorang muhtasib hendkanya memberikan kemudahan kepada kaum muslimin dan tidak membebani mereka dengan sesuatu yang akan memberatkan mereka.

Hadist ini menunjukkan adanya keringanan (rukhshah) bagi seorang wanita untuk tidak mengurai rambutnya saat mandi janabah, karena tindakan melapaskan kepangan rambutnya akan merepotkannya. Ibnu Qayyim –semoga Allah merahmatinya- berkata,  “Dan ini merupakan kesepakatan para ahli ilmu kecuali apa yang dihikayatkan dari Abdullah bin Amr dan Ibrahim an-Nakha’i bahwa keduanya mengatakan, “ hendaknya seorang wanita melepaskan ikatakan rambut kepalnya, namun tidak diketahui adanya kalangan yang sepakat dengan hal tersebut sementara ‘Aisyah telah mengingkari ucapan Abdullah bin Amr. (Hasyiyah Ibnu al-Qayyim ‘Ala Sunan Abi Dawud, 1/292)

Berkata imam an-Nawawi –semoga Allah merahmatinya- : di dalam hadis tersebut menunjukkan tidak wajibnya seorang wanita yang hendak mandi janabah untuk mengurai kepangan rambutnya bilamana air dapat sampai ke seluruh bagian rambutnya, baik permukaannya maupun bagian dalamnya (Syarh Muslim, 3/237, lihat juga : Shahih Ibnu Khuzaemah, 1/122).

Oleh karena itu, seorang muhtasib tidak sepatutnya membebani manusia dengan hal yang akan memberatkan mereka, dengan mengharuskan mereka untuk melakukan suatu hal yang pada prinsipnya hal tersebut bukan merupakan perkara yang wajib untuk dilakukan. Atau, dengan melarang mereka dari melakukan perkara yang mubah, padahal hal tersebut bukan hal yang haram bukan pula sesuatu yang makruh (dibenci)

Di antara bentuk gaya seorang muhtasib untuk mengingkari adalah “ungkapan kata yang menunjukkan keheranan dan pertanyaan”.

Ketika sampai berita kepada Aisyah bahwa Abdullah bin Amr bin al-Ash memerintahkan para istrinya agar melepas kepangan rambut kepala mereka ketika mandi janabah, Aisyah mengatakan, “alangkah mengherankannya apa yang diperintahkan oleh Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash (terhadap para istrinya) ini” Ini adalah gaya bahasa yang bagus, penggunaan gaya bahasa ini akan menarik perhatian pelaku kemunkaran atau kemungkaran itu sendiri. Demikian pula halnya ungkapan beliau, “apakah tidak sebaiknya ia memerintahkan mereka untuk menguris rambut kepala mereka saja?“

ini merupakan pertanyaan yang dimaksudkan untuk mengingkari ; di dalamnya terisyaratkan pengingkaran terhadap pelaku kemunkaran dan penolakan terhadapnya melaui sebuah pertanyaan, yang memberikan faeadah ketidak mampuan Abdullah bin Amr bin al-Ash  untuk memerintahkan para istrinya untuk menguris rambut kepala mereka, maka bagaimana ia memerintahkan para istrinya dengan sesuatu yang akan memberatkan para istrinya tersebut.

Di antara sifat seorang muhtasib adalah menjaga kesucian dan kebersihan diri.

Hadist ini juga memberikan dorongan untuk menjaga kebersihan diri, dalam bentuk mandi karena mengalami junub. Sungguh, para sahabat sedemikian getol untuk menjaga kebersihan dan kesucian diri. Sungguh, Perintah Abdullah bin Amr bin al-Ash kepada istrinya untuk mengurai kepangan rambut kepala mereka (ketika hendak mandi janabah) menunjukkan bentuk pemeliharaan kebersihan dan kesucian diri.

 

Hendaknya seorang muhtasib membantah orang yang menyelisihi (syariat) dengan dalil syar’i.

Seorang muhtasib boleh jadi terkadang berhadapan dengan orang atau kalangan yang berseberangan dengannya dalam sebagian masalah yang sah-sah saja untuk berbeda pandangan di dalamnya, banyak pendapat dan ijtihad dalam kasus tersebut. Maka, ketika itu, ia mengingkari perkara yang dalam pandangannya merupakan kesalahan namun hendaknya pengingkarannya tersebut didasarkan pada dalil syar’i dan hendaknya perbedaan pandangan tersebut tidak menyebabkan terjadinya perpecahan, permusuhan dan kebencian dikalangan orang-orang yang beramar ma’ruf nahi munkar.

Atau antara orang yang beramar ma’ruf nahi munkar dengan pelaku kemunkaran; karena tidak jarang para sahabat Nabi berselisih pendapat di antara mereka sampai pun di zaman Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam-, namun mereka tidak berpecah belah karena adanya perbedaan pandangan dalam memahami hadis-hadis Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam-. Inilah pula yang dialami Aisyah kala ia berselisih pandangan dengan Abdullah bin Amr bin al-Ash, di mana perbedaan pandangan ini tidak sampai mengantarkan kepada perpecahan dan permusuhan. Oleh karena itu, hendaknya setiap orang atau kalangan yang beramar ma’ruf nahi munkar menempuh jalan yang telah ditempuh oleh para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam-semoga Allah meridhai mereka semuanya-. Berkata Ibnu Utsaimin –semoga Allah merahamtinya- :

Untuk mengurai persoalan ini -yakni, “perpecahan”- hendaklah kita menempuh jalan yang telah ditempuh oleh para sahabat. Dan hendaklah kita mema’lumi bahwa perbedaan yang muncul dari ijtihad pada wilayah yang memberikan peluang untuk berijtihad di dalamnya tidaklah memberikan pengaruh; bahkan sesungguhnya hal tersebut pada hakikatnya selaras bagi kita karena setiap orang dari kita mengambil sesuatu yang selaras dengan pandangannya yang dibangun di atas bahwa hal tersebut merupakan perkara yang selaras dengan dalil.

Jadi, apa yang ditunjukkan oleh dalil itulah imam kita semua. Setiap kita tidak mengambil pendapatnya keculai dikarenakan bahwa hal tersebut merupakan perkara yang ditunjukkan oleh dalil. Oleh karena itu, wajib atas setiap orang dari kita agar tidak terdapat dalam dirinya perkara yang tidak baik terhadap saudaranya, bahkan yang wajib adalah hendaknya seseorang memujinya atas  tindakannya mengambil pendapatnya tersebut yang dilandaskan pada dalil, karena perbedaan ini terjadi sebagai konsekwensi dalil yang difahaminya. Kalaulah kita mengharuskan seseorang di antara kita untuk mengambil pendapat orang lain, niscaya tindakanku mengharuskan seseorang untuk mengambil pendaptku tidak lebih utama ketimbang pengharusan dirinya untuk mengambil pendapatnya. Maka yang wajib adalah kita menjadikan perbedaan tersebut dibangun di atas ijtihad, kita menjadikannya selaras sehinngga kata tersatukan dan didapatkan kebaikan.

Jika niatnya baik niscaya pengobatannya akan menjadi mudah. Adapun jika niatnya tidak baik dan setiap orang merasa ta’jub dengan pendapatnya, orang lain tidak dihiraukannya, niscaya keberhasilan akan cukup jauh untuk dicapai.

Sungguh Allah telah mewasiatkan kepada para hamba-hambaNya untuk bersatu, seraya berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (102) وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ (103)

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (Qs. Ali Imran : 102-103)

Sungguh, ayat ini merupakan nasehat yang sedemikian mendalam  bagi manusia (al-I’tidal Fii ad-Da’wah, Ibnu Utsaimin, hal. 10)

Wallahu a’lam

Penulis : Amar Abdullah bin Syakir

Sumber :

Banyak mengambil faedah dari “ al-Ihtisab Fii Shahih Ibni Khuzaemah”, karya : Abdul Wahab bin Muhammad bin Fayi’ ‘Usairiy, hal. 45-48

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *