Syarat-syarat Ruqyah

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Para ulama telah bersepakat tentang bolehnya ruqyah ketika terpenuhi tiga syarat:

  1. Menggunakan Kalamullah atau nama-nama dan sifat-Nya.
  2. Menggunakan lisan (bahasa) Arab atau yang selainnya, selama maknanya diketahui.
  3. Meyakini bahwa ruqyah tidak berpengaruh dengan sendirinya, namun dengan sebab Dzat Allah.
    Mereka berselisih mengenai tiga hal di atas bila dijadikan sebagai syarat. Yang kuat adalah pendapat yang mengharuskan untuk memenuhi tiga syarat yang disebutkan.” (Fathul Bari, 10/237)

Dengan penjelasan di atas, berarti segala ruqyah yang tidak memenuhi tiga syarat itu tidak diperbolehkan. Allohu a’lam.

Jika kita rinci, ada tiga jenis ruqyah yang tidak diperbolehkan:

  1. Ruqyah yang mengandung permo-honan bantuan dan perlindungan kepada selain Allah.

Ruqyah-ruqyah seperti ini sering dipakai oleh para dukun, tukang sihir, dan paranormal. Mereka memohon bantuan dan perlindungan dengan menyebut nama-nama jin, malaikat, nabi, dan orang shalih. Terkadang mereka melakukan kesyirikan ini dengan kedok agama. Banyak orang awam yang terkecoh dengan penampilan sebagian mereka yang memakai atribut agama. Padahal ruqyah yang mereka lakukan dan ajarkan berbau mistik serta sarat dengan kesyirikan.

  1. Ruqyah dengan bahasa ‘ajam (non Arab) atau sesuatu yang tidak dipahami maknanya.

Mayoritas ruqyah yang berbahasa ‘ajam mengandung penyebutan nama-nama jin, permintaan tolong kepada mereka, dan sumpah dengan nama orang yang mengagungkannya. Oleh karena itu, para setan segera menyambut dan menaati orang yang membacanya. Keumuman ruqyah yang tersebar di tengah manusia dan tidak menggunakan bahasa Arab banyak mengandung syirik. Demikian yang ditegaskan oleh Syaikhul Islam. (Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 19/13-16)

Asy-Syaikh Hafizh Al-Hakami berkata: “Adapun ruqyah yang tidak memakai lafadz-lafadz Arab, tidak diketahui maknanya, tidak masyhur, dan tidak didapatkan dalam syariat sama sekali, maka bukanlah perkara yang datang dari Allah dan tidaklah berada dalam naungan Al-Quran dan As-Sunnah. Bahkan hal itu merupakan bisikan setan kepada para walinya. Sebagaimana firman Allah,artinya, “Dan sesungguhnya para setan mewahyukan kepada wali-wali mereka untuk mendebat kalian.” (Al-An’am: 121)
Ruqyah semacam inilah yang dimaksud Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya : “Sesungguhnya segala ruqyah, tamimah, dan tiwalah adalah syirik.”

Hal itu karena orang yang mengucapkannya tidak mengetahui apakah ruqyahnya menggunakan nama-nama Allah, para malaikat, atau para setan. Dia pun tidak mengetahui apakah di dalamnya terdapat kekafiran atau keimanan, kebenaran atau kebatilan, kemanfaatan atau marabahaya, dan apakah itu ruqyah atau sihir. Demi Allah, mayoritas manusia benar-benar tenggelam dalam berbagai malapetaka ini. Mereka menggunakannya dengan bentuk yang cukup banyak dan jenis yang beraneka ragam….” (Ma’arijul Qabul, 1/406, cet. Darul Hadits)

Sebagian kalangan membolehkan setiap ruqyah, walaupun maknanya tidak diketahui, asalkan terbukti memberi kemanfaatan. Mereka berdalil dengan sabda Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam kepada keluarga ‘Amr bin Hazm sewaktu mereka bertanya tentang ruqyah : “Aku lihat tidak mengapa. Barangsiapa yang mampu memberi manfaat bagi saudaranya hendaklah dia lakukan.”
Tetapi pendapat mereka ini terbantah dengan hadits ‘Auf bin Malik Al-Asyja’i. Dia meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda : “Perlihatkan kepadaku ruqyah-ruqyah kalian. Tidak mengapa kalian menggunakan ruqyah-ruqyah itu selama tidak mengandung syirik”.

Hadits ‘Auf ini menunjukkan dilarangnya seluruh ruqyah yang mengarah kepada kesyirikan. Setiap ruqyah yang tidak dimengerti maknanya, tidak dirasa aman, akan membawa kepada syirik. Sehingga setiap ruqyah yang tidak dimengerti maknanya dilarang dalam rangka berhati-hati. (Lihat Fathul Baari, 10/237)

  1. Ruqyah yang diyakini bahwa pelakunya bisa menyembuhkan dengan sendirinya tanpa kekuasaan Allah.

Tentu yang demikian ini bertentangan dengan ajaran tauhid. Karena ruqyah merupakan sebab, berarti pelaku ruqyah adalah pelaku sebab. Peruqyah ibarat dokter, sedangkan ruqyah ibarat obat. Obat adalah sebab dan dokter adalah pelaku sebab. Adapun pencipta sebab adalah Allah. Suatu sebab akan bermanfaat jika dikehendaki oleh Allah. Dahulu bangsa jahiliyah meyakini bahwa ruqyah dipastikan berpe-ngaruh dengan sendirinya. Oleh karena itu mereka sangat mengagungkan ruqyah dan pelakunya. Ini merupakan syirik kepada Allah. Seorang hamba diperintahkan untuk menjalani sebab untuk mendapatkan akibat. Namun hatinya tidak boleh bergantung kepada selain Allah, karena Allah adalah Pencipta segala sebab dan akibat. Di tangan-Nya seluruh kekuasaan langit dan bumi. Allah berfirman : “Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorangpun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu.” (Fathir: 2) “Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri.” (Al-An’am: 17)

Seorang hamba hendaknya mengharapkan kesembuhan hanya kepada Allah I dan hanya bergantung kepada-Nya tatkala melakukan ruqyah. Allohu a’lam

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *