Dari Abu Humaid –semoga Allah meridhainya-, ia berkata, aku pernah mendatangkan sekendi susu dari naqi’ kepada Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam– dalam keadaan tidak tertutup. Maka, beliaupun berkata (kepadaku) :
أَلاَّ خَمَّرْتَهُ وَلَوْ تَعْرُضُ عَلَيْهِ بِعُودٍ
Tidakkah sebaiknya engkau menutupinya meskipun engkau hanya membentangkan ‘ud (sebatang ranting/kayu) di atasnya. (HR. Ibnu Khuzaeh dan dalam shahihnya dan diriwayatkan pula oleh imam Muslim di dalam shahihnya, no. 5213)
Abu Humaid
Abu Humaid, beliau adalah Abu Humaid al-Mundzir, ada yang mengatakan, namanya Abdurrahman –ada yang mengatakan selain itu- ibnu Sa’d as-Sa’idiy al-Anshariy al-Madaniy, termasuk ahli fiqih dari kalangan sahabat Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam-. Beliau wafat pada akhir-akhir kepemimpinan Mu’awiyah pada tahun 60 H, ada yang mengatakan : 53-59 H (lihat, al-Isti’ab, karya al-Qurthubiy al-Malikiy, 4/42, dan Siyar A’lam an-Nubala, karya : Imam Adz-Dzahabiy, 2/481)
Naqi’
Kata ini diriwayatkan dengan Nun (yakni, Naqi’) dan Ba (yakni, Baqi’). Riwayat yang pertamalah yang menjadi pendapat kebanyakan ulama, yaitu sebuah tempat yang berada di lembah al-‘Aqiq (lihat, al-Mufhim, karya : al-Qurthubiy, 5/283, dan Mu’jam al-Buldan, karya : Yaqut al-Hamawiy, 5/301)
Ikhtisab di dalam Hadis ini
Di dalam hadis ini terdapat beberpa faedah dan pelajaran terkait dengan bidang Ihtisab (Amar Ma’ruf Nahi Munkar) yang tersimpul dalam tiga hal berikut ini, yaitu :
Pertama, Seorang muhtasib hendaknya memperhatikan hal yang boleh jadi akan menimpa manusia berupa penyakit yang akan membahayakan kehidupan mereka.
Kedua, Seorang muhtasib hendaknya pula memperhatikan hal yang akan memberikan manfaat kepada manusia, baik terkait dengan urusan agama ataupun duniawi.
Ketiga, Hendaknya seorang muhtasib bersungguh-sungguh untuk selalu mengingat Allah, dan memotivasi manusia untuk melakukan hal tersebut, terlebih dalam momentum-momentum seperti ini.
Penjelasan :
Pertama, Seorang muhtasib hendaknya memperhatikan hal yang boleh jadi akan menimpa manusia berupa penyakit yang akan membahayakan kehidupan mereka.
Pembaca yang budiman, Anda perhatikan dalam hadis ini, Nabi menganjurkan untuk menutup tempat yang berisi air susu yang diberikan kepada beliau. Tidak diragukan bahwa tindakan seperti ini akan menghindarkan dari peluang masuknya benda najis atau benda-benda yang kotor yang lainnya. Sementara hal-hal tersebut membahayakan kesehatan. Bila tidak ditutup, niscaya hal-hal tersebut berpeluang akan masuk dan bisa saja kemudiam seseorang akan meminumnya tanpa sadar bahwa di dalamnya terdapat hal-hal yang kotor yang berpotensi menimbulkan bahaya terhadapnya. Maka, apa yang dianjurkan oleh Nabi kepada Abu Humaid –dalam hadis ini- merupakan bagian dari upaya menghindarkan seseorang dari terjatuh ke dalam hal yang akan membahayakannya. Dalam tindakan tersebut juga menghindarkan diri dari kemungkinan terkena wabah yang bakal turun pada suatu malam pada tahun tersebut, berdasarkan sabda Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam-,
غَطُّوا الإِنَاءَ وَأَوْكُوا السِّقَاءَ فَإِنَّ فِى السَّنَةِ لَيْلَةً يَنْزِلُ فِيهَا وَبَاءٌ لاَ يَمُرُّ بِإِنَاءٍ لَيْسَ عَلَيْهِ غِطَاءٌ أَوْ سِقَاءٍ لَيْسَ عَلَيْهِ وِكَاءٌ إِلاَّ نَزَلَ فِيهِ مِنْ ذَلِكَ الْوَبَاءِ
“Tutuplah bejana, ikatlah kantung air, Sesungguhnya dalam satu tahun terdapat satu malam yang turun pada malam itu wabah penyakit. Tidaklah wabah itu melewati bejana yang tidak ditutup atau wadah air yang tidak diikat, melainkan wabah itu akan turun padanya” (HR. Muslim).
Ini termasuk bentuk kesungguhan dan nasehat Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam upaya menjaga ummat beliau dari terjatuh ke dalam hal yang akan membahayakan mereka.
Kedua, Seorang muhtasib hendaknya pula memperhatikan hal yang akan memberikan manfaat kepada manusia, baik terkait dengan urusan agama ataupun duniawi.
Sesungguhnya perintah untuk menutup bejana atau memberikan tutup pada bejana dan sejenisnya –semisal pintu rumah atau jendela rumah-banyak sekali kemaslahatan di dalamnya baik yang terkait dengan urusan duniawi maupun agama, semisal terjaganya jiwa dan harta dari peluang tindakan jahat orang-orang yang rusak akhlaknya, apalagi setan. Maka, tindakan tersebut juga sebagai upaya menjauhkan setan dari mencampuri urusan manusia. Dengan demikian, hal tersebut menjadi sebab terselamatkannya manusia dari tindakan buruk setan. Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
« غَطُّوا الإِنَاءَ وَأَوْكُوا السِّقَاءَ وَأَغْلِقُوا الْبَابَ وَأَطْفِئُوا السِّرَاجَ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لاَ يَحُلُّ سِقَاءً وَلاَ يَفْتَحُ بَابًا وَلاَ يَكْشِفُ إِنَاءً فَإِنْ لَمْ يَجِدْ أَحَدُكُمْ إِلاَّ أَنْ يَعْرُضَ عَلَى إِنَائِهِ عُودًا وَيَذْكُرَ اسْمَ اللَّهِ فَلْيَفْعَلْ فَإِنَّ الْفُوَيْسِقَةَ تُضْرِمُ عَلَى أَهْلِ الْبَيْتِ بَيْتَهُمْ »
“Tutuplah wadah-wadah, ikatlah kantung air, kuncilah pintu, padamkanlah pelita karena setan tidak bisa membuka ikatan kantung air, tidak bisa membuka pintu, tidak bisa membuka wadah yang tertutup. Jika salah seorang di antara kalian tidak mendapatkan sesuatu untuk menutup wadahnya kecuali dengan sebilah kayu lalu menyebut nama Allah ketika itu, lakukanlah karena tikus bisa membakar rumah yang dapat membahayakan penghuninya.” (HR. Muslim no. 2012).
Dalam riwayat lain,
أوكوا الأسقية وغلقوا الأبواب إذا رقدتم بالليل وخمروا الشراب والطعام فإن الشيطان يأتي فإن لم يجد الباب مغلقا دخله وإن لم يجد السقاء موكأ شرب منه وإن وجد الباب مغلقا والسقاء موكأ لم يحل وكأ ولم يفتح مغلقا وإن لم يجد أحدكم لإنائه ما يخمر به فليعرض عليه عودا
Ikatlah kantong-kantong air, tutuplah pintu-pintu, padamkan lampu-lampu kala kalian tidur di malam hari. Tutuplah minuman dan makanan, karena sesungguhnya setan itu akan datang. Maka, jika ia tidak mendapati pintu yang tertutup niscaya ia akan masuk, dan jika ia tidak mendapati kantong-kantong air tertutup niscaya ia akan minum darinya, namun bila ia mendapati pintu tertutup dan kantong-kantong air tertutup dan terikat, ia tidak dapat melepas sesuatu yang terikat dan tidak dapat membuka sesuatu yang tertutup. Bila salah seorang di antara kalian tidak mendapati sesuatu untuk menutupi wadah-wadah, maka hendaklah membentangkan sebilah kayu di atasanya (HR. Ibnu Khuzaemah)
Ini menunjukkan bahwa bila mana setan mendapati wadah/kantong air tidak tertutup niscaya ia akan minum dari wadah tersebut.
Ketiga, Hendaknya seorang muhtasib bersungguh-sungguh untuk selalu mengingat Allah, dan memotivasi manusia untuk melakukan hal tersebut, terlebih dalam momentum-momentum seperti ini.
Dalam hadis di atas –ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam- menganjurkan agar wadah itu ditutup, meskipun dengan hanya membentangkan sebilah ranting atau kayu di atasnya tidaklah disebutkan bahwa beliau menganjurkan pula untuk mengiringi tindakan tersebut dengan menyebut nama Allah, namun hal ini terisyaratkan dalam riwayat lain, dengan redaksi yang berbeda, di mana Beliau bersabda,
أَغْلِقْ بَابَكَ وَاذْكُرْ اِسْمَ اللهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَفْتَحُ مُغْلَقًا وَ أَطْفِئْ مَصْبَاحَكَ وَاذْكُرْ اِسْمَ اللهِ وَأُوْكِ سِقَاكَ وَاذْكُرْ اِسْمَ اللهِ وَخَمِّرْ إِنَاءَكَ وَاذْكُرْ اِسْمَ اللهِ وَلَوْ بِعُوْدٍ تُعْرِضُهُ عَلَيْهِ
Tutuplah pintu (rumah)mu dan sebutlah nama Allah, karena sesungguhnya setan tidak akan dapat membuka (pintu) yang tertutup. Padamkan pelitamu dan sebutlah nama Allah, tutup dan ikatlah kantong airmu dan sebutlah nama Allah, tutupilah wadahmu sekalipun hanya dengan membentangkan sebilah kayu di atasnya dan sebutlah nama Allah (HR. Ibnu Khuzaemah)
Wallahu a’lam
Penulis :
Amar Abdullah bin Syakir
Sumber :
Banyak mengambil faeadah dari “ al-Ihtisab Fii Shahih Ibni Khuzaemah”, karya : Abdul Wahab bin Muhammad bin Fayi’ ‘Usairiy (hal. 31-32, dengan gubahan)