Tafsir Surat al-Fatihah (4)

Alhamdulillah, pada tulisan sebelumnya kita telah membahas firman Alloh ta’ala:

 “ مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ “ 

 “Yang menguasai di Hari Pembalasan.”

Dan, diantara hal penting yang telah kita ketahui adalah bahwa;

  1. Dalam ayat ini, Alloh tabaroka wata’ala menghabarkan bahwa Dialah satu-satunya yang menguasai pada hari itu, “Yaumuddin“.
  2. Adapun yang dimaksudkan dengan “Yaumuddin” dalam ayat tersebut, Alloh memberikan penjelasan dalam ayat-Nya yang lain,

وَمَا أَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّينِ (17) ثُمَّ مَا أَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّينِ (18) يَوْمَ لَا تَمْلِكُ نَفْسٌ لِنَفْسٍ شَيْئًا وَالْأَمْرُ يَوْمَئِذٍ لِلَّهِ (19)

Artinya: Tahukah kamu apakah hari pembalasan itu?, Sekali lagi, tahukah kamu apakah hari pembalasan itu?(Yaitu) hari(ketika) seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain. Dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah  (Qs. al Infithor: 17-19).

  1. Penyandaran kekuasaan Alloh pada hari itu, di antara alasannya adalah;
    1. Karena pada hari itu nampaklah kesempurnaan kekuasaan Alloh  bagi para makhluq-Nya, Nampak kesempurnaan kekuasaan dan keadilan serta hikmah-Nya, serta terputusnya kekuasaan-kekuasaan makhluq sehingga pada hari itu samalah kedudukan para raja(waktu di dunia) dengan rakyatnya, sama pula kedudukannya antara seorang hamba sahaya dengan orang yang merdeka.
    2. Semua makhluq-Nya tunduk kepada-Nya karena keagungan-Nya, mereka merendahkan diri kepada-Nya karena kemuliaan-Nya, mereka menunggu untuk mendapatkan balasan atas amalnya, mereka mengharapkan pahala kepada-Nya, mereka takut akan siksa-Nya.
    3. Alloh mengkhususkan penyebutan kekuasaan-Nya pada hari itu tidak berarti bahwa Alloh hanya berkuasa pada hari itu saja. Tidak, sama sekali tidak. Bahkan, Dia adalah Raja atau Penguasa pada hari pembalasan dan pada hari-hari lainnya.
    4. Diantara faedah bagi kita, setelah kita membaca ayat tersebut adalah:
      1. Ayat ini menjadi pengingat bagi kita akan adanya suatu hari di mana amal kita akan mendapatkan balasan dengan seadil-adilnya dari Alloh subhanahu wata’ala Dzat yang Maha Adil.
      2. Ayat ini, menjadi pendorong bagi kita untuk mempersiapkan diri menghadapi hari pembalasan dengan melakukan berbagai amal sholeh yang mampu untuk dilakukan dan menjauhkan diri dari segala bentuk kemaksiatan dan kejelekan yang hanya akan mendatangkan dosa dan murka-Nya.

Selanjutnya, marilah kita kaji firman Alloh selanjutnya. Alloh berfirman:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.”

Pembaca yang budiman…

Ayat ini, menjelaskan kepada kita bahwa kita mengiqrarkan diri untuk menyembah/beribadah hanya kepada Alloh ta’ala saja dan memohon pertolongan juga hanya kepada-Nya.

Firman Alloh ta’ala,

إِيَّاكَ نَعْبُدُ

(Hanya Engkaulah yang kami sembah), mengisyaratkan implementasi makna kalimat syahadat, “Tiada sesembahan yang berhak disembah kecuali Alloh”. Karena, makna syahadat ini terdiri dari dua perkara, yaitu: Nafyu(yang berarti: peniadaan) dan itsbat(yang berarti: penetapan). Maka “peniadaan” adalah menanggalkan segala macam bentuk yang diibadahi selain Alloh dalam segala bentuk peribadatan. Sedangkan “Itsbat”, yaitu mengesakan Robb langit dan bumi semata dengan segala bentuk peribadatan yang disyariatkan. Indikasi lain adanya “nafyi” dari kalimat “

لا إله إلاّ الله

  bisa juga ditunjukkan oleh kata, “

إِيَّاكَ

“(Hanya Engkaulah) yang berada di depan kalimat. Sedangkan “ itsbat” bisa juga ditunjukkan oleh kata, “

نَعْبُدُ

‘ (kami sembah).

Pembaca yang budiman…

Alloh tabaroka wata’ala telah menjelaskan makna ayat ini secara terperinci dalam ayat-Nya yang lain, seperti firmanNya,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa”,(Qs. al Baqoroh : 21).

Alloh mempertegas akan “itsbat” (penetapan) dari ayat ini dengan firman-Nya, “

اعْبُدُوا رَبَّكُمُ

, Sembahlah Tuhanmu. Dan Alloh mempertegas akan adanya “nafyi“(peniadaan) dalam akhir ayat ke-22, Alloh berfirman:

فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

(karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui).

Dan firman Alloh ta’ala,

وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

,  dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.  Yakni: kami tidak memohon pertolongan selain kepada-Mu semata; karena segala urusan berada dalam genggaman tangan-Mu saja. tak seorang pun yang menguasainya meski hanya sebesar biji atom sekalipun.

Sedangkan penyebutan kalimat ini,

وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

setelah kalimat,

إِيَّاكَ نَعْبُدُ

, terdapat isyarat yaitu bahwa tidak selayaknya menyerahkan urusan kecuali kepada Dzat yang berhak diibadahi; karena selainnya tak memiliki kekuasaan sedikitpun. Makna yang terisyaratkan ini, banyak disebutkan secara jelas dalam beberapa ayat-ayat yang lainnya. Seperti firman Alloh ta’ala,

فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ

“maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya.” (Qs. Huud: 123) 

فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ

“Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal”. (Qs. at Taubah: 129)

Pembaca yang budiman…

Mengapa didahulukan ibadah dari memohon pertolongan ?

Syaikh Sa’di mengatakan: “pengedepanan ibadah atas memohon pertolongan termasuk bab pengedepanan hal yang bersifat umum atas hal yang bersifat khusus. Dan, agar seseorang lebih perhatian untuk mengedepankan hak Alloh ta’ala atas hak seorang hamba.

Sedangkan penyebutan isti’anah setelah ‘ibadah padahal isti’adah termasuk bentuk ibadah adalah karena – Wallohu a’lam- sangat perlunya seorang hamba terhadap permohonan pertolongan kepada Alloh dalam pelaksanaan ibadahnya kepada Alloh ta’ala. Karena, sesungguhnya bila Alloh tidak memberikan pertolongan kepadanya niscaya seorang hamba tak akan dapat memperoleh apa yang ia inginkan dari melakukan perkara yang diperintahkan kepadanya dan menjauhkan diri dari perkara-perkara yang terlarang.

Pembaca yang budiman…

pada awal pembahasan, tadi kita sebutkan bahwa, “Ayat ini, menjelaskan kepada kita bahwa kita mengiqrarkan diri untuk menyembah/beribadah hanya kepada Alloh ta’ala saja dan memohon pertolongan juga hanya kepada-Nya. “nah, barang kali anda bertanya, apa yang dimaksud dengan “ ibadah“ dan apa pula yang dimaksud dengan “memohon pertolongan/isti’anah“?
Ibadah ialah istilah yang mencakup segala perkara yang dicintai dan diridhoi Alloh  berupa perbuatan dan ucapan yang nampak maupun yang tidak nampak. Sedangkan yang dimaksud dengan “isti’anah” yaitu percaya dan menyandarkan diri kepada Alloh dalam hal mendatangkan perkara-perkara yang bermanfaat dan menolak perkara-perkara yang membahayakan disertai dengan penuh yakin dengan hal tersebut bahwa ia akan mendapatkan hal yang ia harapkan.

Maka, dari ayat ini ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil, di antaranya:

  1. Ibadah  hanya ditujukan kepada Alloh ta’ala saja. seseorang tidak boleh memalingkan segala macam bentuk peribadatan kepada selain Alloh ta’ala.
  2. Pentingnya memohon pertolongan kepada Alloh ta’ala dalam upaya mencapai hal yang kita inginkan.
  3. Di dalamnya ada obat hati dari penyakit bergantung kepada selain Alloh ta’ala, penyakit riya, ujub dan sombong.
  4. Beribadah dan memohon pertolongan kepada Alloh merupakan wasilah untuk mendapatkan kebahagiaan yang abadi

Akhirnya, semoga Alloh memberikan pertolongan kepada kita dalam menjalankan segala bentuk peribadatan kepada-Nya. Amien.  Wallohu a’lam (Abu Umair).

Sumber:

  1. Adwa’ul Bayaan Fii Iidhohi al-Qur’an bil Qur’an, Syaikh Muhammad al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar bin Abdil Qodir al-Janki asy-Syanqithi (wafat: 1393H), penerbit: Daarul Fikri Lith Thiba’ah wan Nasyr wat Tauzi’ Bairut- , 1415 H/1995 M.
  2. At Tafsir al Muyassar, Sejumlah Profesor bidang Tafsir dibawah bimbingan Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin at Turkiy.   
  3. Taisiir al Karimi ar Rohman fii Tafsiri Kalami al Mannaan, Syaikh Abdurrohman bin Nashir as Sa’diy, Tahqiq: Abdurrohman bin Ma’la al Luwaihiq. Penerbit: Muassasah ar Risalah. Cet.I Th.1430 H /2000 M

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *