Pembaca yang budiman…
Hari raya kita umat islam ada tiga, yaitu : (1) hari idul fithri,(2) hari idul adha, dan (3) hari jum’at. Adapun hari idul fithri dan idul adha, ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Ahmad, dan lainnya bersumber dari Anas bin Malik, ia mengatakan,
قدم رسول الله صلى الله عليه و سلم المدينة ولأهل المدينة يومان يلعبون فيهما فقال قدمت عليكم ولكم يومان تلعبون فيهما فإن الله قد أبدلكم يومين خيرا منهما يوم الفطر ويوم النحر
Ketika beliau datang ke Madinah, beliau melihat penduduknya bermain-main selama dua hari, lalu beliau bersabda, “ sesungguhnya Alloh telah mengganti untuk kalian dua hari yang lebih baik darinya, yaitu hari raya fithri dan hari raya kurban.
Sedangkan hari jum’at sebagai hari raya, ini seperti ditunjukkan dalam hadis berikut,
Abu Ubaid berkata, “Aku pernah melaksanakan shalat ‘ied bersama Utsman ibn Affan yang bertepatan dengan hari jum’at, lalu beliau shalat sebelum khutbah. Kemudian beliau berkhutbah, “Wahai manusia ini adalah hari dimana dua hari raya berkumpul di dalamnya, maka barangsiapa yang datang dari desa-desa ingin menunggu shalat jum’at, maka lakukanlah dan barangsiapa diantara mereka yang ingin pulang, maka aku telah mengizinkannya” (HR.Bukhari)
Pembaca yang budiman…
Adapun yang penulis maksudkan dengan kata, “ hari raya “, yang pertama dalam judul tulisan ini (Hari Raya Jatuh Pada Hari Raya) adalah hari raya Qurban dan hari raya fithri. Sedangkan yang penulis maksudkan dengan kata, “ hari raya “, yang kedua dalam judul tulisan ini (Hari Raya Jatuh Pada Hari Raya) adalah “ hari jum’at”.
Jadi, maksud judul bahasan kita adalah masalah, “ bagaimana bila hari raya Qurban atau hari raya fithri bertepatan dengan hari jum’at ? “ , apakah sholat jum’at merupakan kewajiban yang harus tetap dilakukan oleh orang yang berkewajiban melaksanakannya ataukah tidak ? ataukah seseorang mendapatkan keringanan untuk meninggalkan sholat jum’at dan hanya melaksanakan sholat zuhur ?
Pembaca yang budiman…
Masalah ini, para ulama berbeda pendapat. Paling tidak ada 4 pendapat yang masyhur.
Pendapat yang pertama, “Kewajiban shalat jumat tidak gugur. shalat jumat wajib dilakukan oleh setiap mukallaf yaitu laki-laki yang merdeka yang tidak bepergian. Ini adalah pendapat yang terlihat pada Madzhab Hanafiyyah
Pendapat yang kedua, “ Tidak gugurnya kewajiban shalat jum’at bagi penduduk kota dan sekitarnya bila mereka telah shalat ‘ied, walaupun telah diberi izin (keringanan) oleh imam. Ini adalah pendapat yang terlihat pada Madzhab Malikiyyah
Pendapat yang ketiga, “ shalat jum’at tidak gugur kewajibannya terhadap penduduk sebuah kota atau desa, mereka tetap wajib melaksanakan shalat jum’at. Keringanan untuk meninggalkan shalat jum’at setelah shalat ‘ied hanyalah bagi mereka yang tinggal jauh di pedalaman ( Badui), dan walau begitu yang utama bagi mereka adalah tetap menghadiri shalat jum’at. Ini adalah pendapat yang terlihat pada Madzhab Syafi’iyyah
Pendapat yang keempat, “ orang yang telah melaksanakan shalat ‘ied disunahkan baginya untuk hadir pada shalat jum’at, namun bila mencukupkan diri dengan shalat ‘ied ( dan tidak mengikuti shalat jum’at) kemudian dia shalat dzuhur, maka itu tidak mengapa. Ini adalah pendapat yang terlihat pada Madzhab Hanabilah.
Pembaca yang budiman…
Dari keempat pendapat di atas bisa disimpulkan bahwa madzhab Hanafi berpendapat wajibnya shalat jum’at bagi setiap orang yang terkena kewajiban jum’at pada hari biasa (selain hari ‘ied). Begitu juga perkataan imam Malik dan yang mengikuti beliau tentang tidak gugurnya shalat jum’at bagi orang yang telah mengikuti shalat ‘ied, kecuali yang diisyaratkan bahwa keringanan untuk meninggalkan shalat jumat hanya bagi penduduk pedalaman. Adapun Imam Syafi’i berpendapat gugurnya shalat jum’at hanya untuk orang yang jauh dari keramaian, adapun penduduk kota dan pedesaan maka wajib bagi mereka untuk shalat jum’at. Sedangkan madzhab Hambali telah jelas, bahwa mereka berpendapat tidak wajibnya shalat jum’at bagi yang telah melaksanakan shalat ‘ied, namun itu sunnah. Dan dia wajib untuk shalat dzuhur.
Dengan demikian, kesimpulnya adalah bahwa mayoritas ulama berpendapat wajibnya shalat jum’at bagi yang telah melaksanakan shalat ‘ied, kecuali imam Ahmad ibn Hambal yang tidak mewajibkannya. Hanya saja para ulama yang mewajibkan jum’at sebagian mereka ada yang mewajibkan shalat jum’at secara mutlak, dan ada yang memberikan keringanan bagi penduduk yang jauh dari pemukiman.
Pembaca yng budiman…
Apa dalil atau alas an yang melandasi pendapat mereka masing-masing ?
Adapun dalil pendapat yang mewajibkan Shalat Jum’at secara mutlaq, antara lain adalah sebagai berikut,
1. Keumuman firman Allah Subhanahu Wata’ala :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli” ( Al-Jumu’ah : 9)
2. Semua dalil yang menunjukkan wajibnya shalat jum’at, seperti hadits :
على كل محتلم رواح الجمعة و على كل من راح الجمعة الغسل .
“Wajib bagi setiap orang yang sudah bermimpi (baligh)untuk pergi shalat jum’at dan bagi setiap yang pergi untuk jum’at maka dia mesti mandi” (hadits shahih riwayat An-Nasa’i)
3. Karena keduanya merupakan shalat wajib ( tergantung dengan perbedaan pendapat tentang wajibnya shalat ‘ied) dimana yang satu tidak bisa menggugurkan yang lain, seperti shalat dzuhur dengan shalat ied.
Adapun dalil atau alas an yang melandasi pendapt yang mewajibkan Shalat Jum’at bagi penduduk kota dan pemukiman dan memberi keringanan untuk penduduk pedalaman untuk meninggalkannya adalah sama dengan dalil pendapat sebelumnya tentang wajibnya shalat jum’at, kemudian ditambah dengan atsar dari Utsman radiyallahu ‘anhu berikut ini, yaitu dari Abu Ubaid, beliau berkata, “Aku pernah melaksanakan shalat ‘ied bersama Utsman ibn Affan yang bertepatan dengan hari jum’at, lalu beliau shalat sebelum khutbah. Kemudian beliau berkhutbah, “Wahai manusia ini adalah hari dimana dua hari raya berkumpul di dalamnya, maka barangsiapa yang datang dari desa-desa ingin menunggu shalat jum’at, maka lakukanlah dan barangsiapa diantara mereka yang ingin pulang, maka aku telah mengizinkannya” (HR.Bukhari)
Adapun dalil atau alas an yang melandasi pendapat yang tidak mewajibkan Shalat Jum’at (Bagi Selain Imam Masjid) namun hanya menyatakan Sunnah, antara lain adalah :
1. Hadits Zaid ibn Arqam bahwa Muawiyyah bertanya kepadanya : “Apakah engkau menyaksikan bersama Rasulullah dua hari raya yang yang berkumpul di satu hari?” jawabnya : “Ya” Muawiyah bertanya : “Lalu apa yang beliau kerjakan?” Dia menjawab : “Beliau mengerjakan shalat ‘ied kemudian beliau memberikan keringanan dalam hal shalat jum’at seraya bersabda,
من شاء أن يصلي فليصل
“Barangsiapa yang ingin shalat, hendaklah dia shalat ” (HR. Abu Daud, dishahihkan oleh Albani)
2. Hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alahi Wasallam bersabda :
قد اجتمع في يومكم هذا عيدان فمن شاء أجزأه من الجمعة وإنا مجمعون
“Pada hari ini telah terkumpul dua hari raya, maka barangsiapa berkehendak, boleh untuk tidak ikut shalat jum’at, sedangkan kami akan melaksanakan shalat jum’at ” (HR. Abu Daud, dishahihkan oleh Albani)
3. Hadits Ibnu Umar, beliau bercerita : “Telah terkumpul dua hari raya dalam satu hari pada masa Rasulullah Sallallahi ‘alaihi Wasallam, beliau shalat ‘ied bersama orang-orang, kemudian bersabda :
من شاء أن يأتي الجمعة فليأتها و من شاء أن يتخلف فليتخلف
“Barangsiapa yang mau mendatangi shalat jum’at silahkan mendatanginya, dan barangsiapa yang tidak mau mendatangi shalat jum’at silahkan tidak mendatanginya” (HR. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Albani)
4. Atsar yang diriwayatkan Atho ibn Abi Rabah, beliau berkata, Ibnu Zubair pernah shalat mengimami kami pada hari raya yang bertepatan dengan hari jum’at pada awal siang, lalu kami berangkat shalat jum’at, tapi beliau tidak keluar untuk shalat jum’at, maka kami shalat jum’at sendiri. Waktu itu Ibnu Abbas berada di Thaif, lalu begitu beliau datang kami tanyakan hal itu, beliaupun menjawab : “Ia telah melaksanakan sesuai dengan sunah”(HR. Abu Daud, dishahihkan oleh Albani) Wallohu a’lam.
Sumber : Diringkas dari beberapa sumber dengan sedikit gubahan (Abu Umair)