Lalai dalam Mendidik Anak-anak
Pembaca yang budiman….
Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anak, dan rumah adalah sebuah batu-bata yang dengan batu-bata serupa terbentuk bangunan masyarakat. Di dalam rumah yang terbangun di atas pondasi menjaga ketentuan-ketentuan Allah, yang tegak dengan pilar-pilar kecintaan, kasih sayang, sikap itsar (mengutamakan orang lain) dan saling membantu dalam kebajikan dan takwa, di dalam rumah seperti inilah akan lahir laki-laki dan perempuan pilihan umat, akan bermunculan pemimpin dan pemuka masyarakat.
Sebelum seorang anak terdidik oleh sekolah dan masyarakat, rumah dan keluargalah yang terlebih dahulu mendidiknya. Seorang anak ibarat debitor yang dari kedua orang tuanya ia mendapatkan “pinjaman” perilaku luhur, sebagaimana kedua orang tua bertanggung jawab dengan porsi besar dalam penyimpangan perilaku anak. Betapapun besar tangung jawab ini, namun banyak orang mengabaikannya, yang menyepelekan urusannya, dan tidak melaksanakan sebagaimana mestinya. Akibatnya, mereka menelantarkan anak-anak dan melalaikan pendidikan mereka.
Kemudian, bila terlihat penyimpangan pada perilaku anak-anak, mereka pun berkeluh kesah. Mereka tidak sadar bahwa merekalah sebab pertama bagi penyimpangan tersebut.
Di antara bentuk kelalaian dalam pendidikan anak adalah :
- Mendidik mereka untuk bersikap pengecut, lemah dan gampang dalam menghadapi segala sesuatu.
- Mendidik mereka untuk berpanjang lidah dan mudah mencela orang lain.
- Mendidik mereka untuk kurang disiplin, urakan dan berperilaku menyimpang .
- Mendidik mereka untuk bersikap keras dan melampaui batas dari apa yang ibu tetapkan.
- Terlalu pelit terhadap mereka.
Di antara penyebab menyimpangnya perilaku mereka adalah kedua orang tua menjadi teladan buruk bagi anak-anak. Bagaimana menurut Anda tentang sebuah rumah di mana sang ibu meremehkan pelaksanaan shalat, mendatangkan kemungkaran ke dalam rumah, berdandan secara tabarruj bila hendak keluar rumah ? Kemudian, banyaknya problematika di antara kedua orang tua dan menyerahkan urusan pendidikan anak kepada para pembantu juga merupakan penyebab penyimpangan tersebut.
Bentuk kelalaian terhadap pendidikan anak yang lain adalah istri yang bekerja di luar rumah dan menghabiskan sebagian besar waktunya jauh dari anak-anak dan suami, dengan tidak menyeimbangkan antara pekerjaannya dan tugasnya di rumah. Ini adalah sikap ceroboh, terlebih bila ia sebenarnya tidak membutuhkan pekerjaan di luar rumah, atau bila dipastikan suami dan anak-anak akan terlantar sama sekali. Ia bekerja hanya untuk menambah penghasilan pribadinya, sehingga ia bisa leluasa menambah berbagai fasilitas.
Betapa banyak keluhan yang disampaikan terkait bekerjanya perempuan di luar rumah dan kesetaraannya dengan laki-laki –seperti yang mereka persaksikan-. Mereka lupa atau pura-pura lupa, bahwa bila perempuan bekerja dan berbaur dengan laki-laki, rasa capeknya akan menumpuk dan tentu akan mengorbankan urusan rumah tangga. Karenanya, Islam menyerahkan kepemimpinan itu ke tangan laki-laki, dan menugaskan perempuan untuk menangani urusan rumah tangga. Dan inilah yang dikehendaki oleh Fithrah.
Perempuan di dalam islam adalah pemimpin di rumah suaminya, dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya ini, kepemimpinan ini meliputi pendidikan dan perhatian untuk anak-anak, sehingga ia berkewajiban menanamkan nilai-nilai luhur dan akhlak mulia di dalam diri mereka, disertai upaya menjauhkan mereka dari segala sesuatu yang bertentangan dengan itu semua.
Wallahu a’lam
Sumber :
Dinukil dari “ Min Akhto-i az Zaujaat”, Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, (Edisi Indonesia, hal. 91-94)
Amar Abdullah bin Syakir
Artikel : www.hisbah.net
Ikuti update artikel di Fans Page Hisbah.net
Twitter @Hisbahnet,