Sang Alim Itu Berani Menarik Baju Sang Penguasa !

      Abu Said Al Khudry Radhiyallahu ‘Anhu, seorang sahabat Nabi yang mulia, menemani perjuangan sang rasul dikala suka maupun duka, hidupnya untuk menghidupkan sunnah nabinya.

Abu Said Al Khudry Radhiyallahu ‘Anhu termasuk salah seorang sahabat yang banyak meriwayatkan hadits-hadits Nabi yang mulia, salah satunya adalah hadits tentang tatacara shalat hari raya, Iedul Fitri dan Iedul Adha.

didalam hadits tersebut Abu Said Al Khudry mengisahkan bahwa Nabi Shalallahu alaihi wasallam pada hari raya, memulai prosesinya dengan shalat dahulu baru kemudian khutbahnya, berbeda dengan tatacara shalat Jum’at, yang mana dimulai dari khutbah dahulu baru dilanjutkan dengan shalat. inilah sunnah Nabi yang beliau riwayatkan untuk kita ummat yang datang belakangan, dan inilah tatacara prosesi hari raya yang beliau ambil contohnya dari Baginda nabi shalallahu alaihi wasallam.

Hingga suatu hari terjadi suatu cara yang terbalik, menyelisihi tuntunan Nabi. Pada saat itu walikota Madinah adalah Marwan Bin Al Hakam, seorang juru tulis Khalifah Utsman bin Affan di zamannya, dan kemudian diangkat menjadi walikota Madinah pada zaman Khalifah Muawiyah Bin Abi Sufyan.

hingga pada suatu hari raya, manusia berbondong-bondong keluar menuju lapangan untuk shalat ied, termasuk didalamnya adalah sahabat Abu Said Al Khudry sang perawi hadits tatacara shalat hari raya yang datang ke lapangan bersama sang walikota sendiri, Marwan Bin Al Hakam. lapangan shalat sudah disiapkan, mimbar telah tegak ditempatnya.

Ketika maju kedepan untuk mengimami shalat, Walikota Marwan tiba-tiba malah hendak menaiki mimbar untuk khutbah hari raya terlebih dahulu, baru setelahnya shalat. dan seketika itu juga, Abu Said Al Khudry yang berada di shaf terdepan didibelakangnya langsung bangkit menarik baju sang penguasa Kota Madinah tersebut didepan khalayak jamaah shalat ied yang tentu saja sangatlah banyak jumlahnya.

apa yang terjadi setelahnya? Marwan Sang Walikota tetap tak bergeming untuk khutbah terlebih dahulu baru setelahnya melaksanakan shalat, hingga ketika selesai shalat, Abu Said Al Khudry menegur sang walikota: “wallahi engkau telah mengubah sunnahnya!”, namun ternyata sang walikota punya alasan tersendiri, beliau pun menjawab: “wahai abu sa’id, telah berlalu zaman yang engkau ketahui”, abu said menimpali: “wallahi apa yang aku ketahui tetap lebih baik dari apa yang tidak aku ketahui!”, maka sang walikota menjelaskan lagi: “sesungguhnya manusia di zaman sekarang ini tidak lagi mau duduk untuk mendengarkan khutbah setelah shalat, maka kujadikan khutbah tersebut sebelum shalat agar mereka mendengarnya”.

Inilah kisah Abu Said dengan Sang Penguasa, perbedaan status tersebut tak menghalangi beliau untuk menegakkan amanat nahi mungkar yang utama, yaitu mengubah dengan tangan. perbedaan status yang sangat sensitif tersebut tak beliau indahkan, karena beliau sangat faham hukumnya, bahwa nahi mungkar harus langsung dengan tangan selama dua syaratnya terpenuhi: kemampuan dan tidak menimbulkan mudharat yang lebih besar, dan pada kasus ini Abu Said tentu merasa bahwa dirinya seorang yang sanggup, karena beliau adalah sahabat Nabi, jika tidak sekelas dirinya siapa lagi? dan hal tersebut tidak akan menjadi polemik yang lebih besar, karena beliau tahu bahwa sang walikota pastilah sudah tau hukumnya hingga perlu diingatkan secara langsung jika memang ia tidak sengaja.

Dan Imam Nawawi juga memberikan penjelasan tentang hadits ini:

“Didalamnya terdapat pelajaran bahwa Amar Makruf Nahi Munkar harus ditegakkan walaupun pelaku kemungkaran tersebut adalah penguasa, dan padanya pelajaran juga bahwa mengubah kemungkaran dengan tangan wajib bagi yang sanggup, dan tidak lepas kewajibannya jika hanya mengubah dengan lisan sedangkan ia sanggup dengan tangan”

Maka pointnya adalah bahwa kewajiban Amar Makruf Nahi Munkar ini bersifat umum, baik bagi yang mengubah ataupun yang diubah, tidak ada pengkhususan bahwa kewajiban perkara ini hanya untuk satu golongan tanpa yang lain, hanya untuk ulama tanpa masyarakat awam, karena yang menjadi tolak ukur adalah kasus pelanggarannya dan keadaan yang menyertainya, yang mana jika pelanggaran tersebut jika diingkari dengan tangan malah menyebabkan perkara mungkar yang lebih besar, maka untuk saat kondisi tersebut pengingkaran tidak dilakukan dengan tangan, namun dengan lisan dan seterusnya, hal ini berlaku baik untuk masyarakat ataupun penguasa, yang mana jika pengingkaran dapat memberikan dampak positif maka dilakukan, namun dengan catatan agar perilakunya tidak menciderai kehormatan pihak penguasa dihadapan rakyatnya, karena hal tersebut dapat menimbulkan efek negatif lainnya yang lebih besar, karena lingkungan yang aman dan terkendali adalah ketika rakyat mematuhi penguasanya, dan sang penguasa memperhatikan kebijakan-kebijakannya karena ia tahu bakal mendapat teguran dari rakyatnya jika sembarangan dalam menentukan suatu kebijakan.

 

Penulis: Muhammad Hadhrami Bin Ibrahim

Rujukan:

حديث (من رأى منكم منكراً فليغيره بيده) دراسة تأصيلية لملامح التغيير وضوابطه في الإسلام ص ١٢٩ & ١٣٤-١٣٥ بالاختصار.

تأليف: ألي عبد الرحمن صادق بن محمد الهادي

Artikel : www.hisbah.net

Ikuti update artikel di Fans Page Hisbah.net
Twitter @Hisbahnet,

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *