Kisah Mu’adz bin Jabal yang Memanjangkan Bacaan Shalat

Dahulu Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu selalu shalat bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, tatkala ia (Mu’adz) mendatangi kaumnya, ia mengimami mereka dengan membaca Surah Al-Baqarah. Maka salah seorang makmum memisahkan diri lalu shalat sendirian dengan lebih cepat (lalu pergi). Ketika berita itu sampai kepada Mu’adz ia berkata: ‘Orang itu adalah orang munafiq.’ Ketika orang tersebut mengetahui perkataan Mu’adz, ia datang mengadu kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan berkata: ya Rasulullah, kami adalah orang yang bekerja dengan kedua tangan sendiri, dan menyiram tanaman dengan hewan ternak kami, sedang tadi malam Mu’adz mengimami kami dengan membaca Surah Al-Baqarah, kemudian saya memisahkan diri, lalu ia mengklaim bahwa saya adalah seorang munafiq!.

Maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda (kepada Mu’adz): “apakah engkau hendak membuat kericuhan wahai Mu’adz?! Seharusnya engkau (cukup) membaca والشمس وضحاها (Surah Asy-Syams) dan سبّح اسم ربك الأعلى (Surah Al-A’la) atau semacamnya.!!!” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhu.

Mu’adz bin Jabal adalah salah seorang sahabat terdekat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, kehausannya terhadap ilmu Rasulullah mendorongnya untuk selalu memperhatikan dan menangkap segala perkataan dan perbuatan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam agar kemudian dapat ia amalkan sebagaimana sahabat-sahabat lainnya. Bahkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah berterus terang -dalam sebuah hadits- kepadanya bahwa beliau mencintainya. Jika Mu’adz tak memiliki kemuliaan selain cinta Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepadanya maka itu sudah lebih dari cukup.

Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu biasa shalat dibelakang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang terbiasa membaca surah-surah panjang dalam shalat, lalu ketika Mu’adz menjadi imam ditempat lain yang jamaahnya terdiri dari orang-orang awam kaum muslimin ia meniru cara Rasulullah yang biasa mengimami sahabat-sahabat senior, sehingga Mu’adz membaca Surah Al-Baqarah yang panjang. Maka sebagian jamaah merasa keberatan, dan salah seorang mereka memisahkan diri lalu menyelesaikan shalatnya sendiri.

Tatkala Mu’adz mengetahui hal tersebut, ia mencela orang tersebut dan menyebutnya sebagai seorang munafiq. Karena shalat berjamaah adalah pemersatu orang-orang yang beriman dan salah satu tanda pembeda antara orang-orang yang beriman dengan kaum munafiq yang selalu merasa keberatan untuk shalat berjamaah.

Oleh karena itu ketika Mu’adz mengetahui orang tersebut memisahkan diri dari jamaah, ia mengklaimnya sebagai orang munafiq. Dan ini semua karena semangat Mu’adz radhiyallahu’anhu untuk meniru Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan dari apa yang ia fahami dari nash-nash Al-Qur’an dan Hadits tentang tanda-tanda orang munafiq.

Klaim tersebut terasa begitu berat bagi orang yang bersangkutan, karena ia meninggalkan jamaah bukan karena tidak ingin shalat berjamaah, tapi karena keberatan mengikuti shalat yang panjang sedang ia adalah seorang pekerja keras yang bekerja sepanjang hari yang begitu menguras tenaganya, sehingga ia merasa wajar jika merasa keberatan untuk mengikuti shalat Mu’adz yang begitu lama. Oleh karen itu kemudian ia mengadukan perkataan Mu’adz radhiyallahu’anhu kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sangat memahami keadaan sang pengadu, maka beliau menegur Mu’adz radhiyallahu’anhu dengan teguran yang tegas, bahkan terguran tersebut beliau ulang sampai tiga kali, lalu beliau mengajari Mu’adz untuk memperpendek bacaan tatkala mengimami orang-orang seperti mereka yang terdiri dari orang-orang pekerja, lanjut usia, ataupun orang yang memiliki hajat, seperti membaca Surah Al-A’la, Asy-Syams dan semacamnya.

Dari kisah ini para fuqaha banyak mengambil pelajaran khususnya bagi orang yang akan mengimami suatu jamaah, ia harus memperhatikan keadaan jamaah, jika mereka orang-orang awam, atau diantara mereka terdapat para pekerja dan sebagainya, maka sebaiknya ia memperingkas shalat agar tidak memberatkan yang bisa berakibat mereka menghindar dari shalat berjamaah. Sedang jika mereka adalah orang-orang yang bisa mengikutinya seperti para penuntut ilmu dan semacamnya maka boleh baginya untuk memanjangkan shalat.

Wallahu a’lam

Artikel : www.hisbah.net

Ikuti update artikel di Fans Page Hisbah.net
Twitter @Hisbahnet,

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *