Dalam artikel kami yang berjudul ‘Tercelanya Perdebatan yang Tidak Bermanfaat’ telah kami jelaskan betapa tercelanya perdebatan-perdebatan yang tidak bermanfaat yang tidak dimaksudkan untuk membela kebenaran, dan hanya dijadikan sebagai sarana untuk memenangkan diri sendiri atau kelompok. Dan telah kami sebutkan hadits nabi yang mencela perdebatan serta memerintahkan kita untuk menjauhinya.
Sebenarnya perdebatan adalah hal yang wajar, karena manusia diciptakan beragam dengan tingkatan pemahaman yang berbeda-beda dan tidak bisa dipaksakan untuk sepakat kepada satu pendapat dalam memahami nash, sehingga dalam keadaan-keadaan tertentu perdebatan pasti terjadi dan sulit dihindari. Namun dengan syarat perdebatan tersebut adalah untuk mencari atau menyampaikan kebenaran dan bukan untuk menang-menangan atau menampakkan kebolehan ilmu masing-masing.
Bahkan dalam berdakwah, Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan Nabinya shallalahu alihi wa sallam untuk mendebat orang-orang musyrik dengan cara yang baik, sebagiamana dalam firmanNya:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang baik…” (QS. An-Nahl: 125).
ومن ذلك الاحتجاج عليه بالأدلة التي كان يعتقدها، فإنه أقرب إلى حصول المقصود، وأن لا تؤدي المجادلة إلى خصام أو مشاتمة تذهب بمقصودها، ولا تحصل الفائدة منها، بل يكون القصد منها هداية الخلق إلى الحق لا المغالبة ونحوها.
Syeikh As-Sa’diy rahimahullah berkata dalam menafsirkan ayat ini, “Diantaranya (cara berdakwah) adalah dengan mendebatnya (lawan bicara) dengan akidah yang ia yakini sendiri, karena itu lebih dekat kepada maksud. Dan hendaknya debat tersebut tidak menyebabkan saling bermusuhan atau saling mencaci yang dapat menghilangkan maksud awal dari perdebatan tersebut. Hendaknya maksud dari debat tersebut adalah menunjukkan orang lain kepada kebenaran, bukan untuk saling menang-menangan dan sebagainya.”
Jikalau perdebatan dijadikan sebagai sarana untuk mencari kebenaran atau menyampaikan kebenaran sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim alaihissalam ketika berdebat dengan kaumnya yang kafir dan ingkar, maka itu merupakan perdebatan yang terpuji selama tidak menyebabkan perpecahan dan permusuhan yang dapat menghilangkan tujuan awal dari perdebatan tersebut.
Berdakwah melalui debat atau dialog sudah dilakukan oleh para rasul. Mereka biasa berdialog dan berdebat dengan kaum mereka yang ingkar demi menjelaskan kebenaran dan menampakkan kebatilan musuh. Sehingga setelah musuh mereka tersudutkan kepada suatu argument yang tak bisa lagi dibantah, maka tak ada jalan lain bagi musuh mereka kecuali membenarkan kebenaran yang dibawa oleh para rasul. Sedang orang-orang yang tidak mendapatkan hidayah maka akan terus pada pendustaan dan kekufuran mereka.
Contoh perdebatan yang semacam ini adalah perdebatan antara Nabi Ibrahim dengan seorang raja kafir yang mengaku dirinya tuhan. (Baca: ‘Dakwah Nabi Ibrahim dengan Raja yang Kafir’). Begitu juga debat antara Imam Syaafi’i dengan beberapa ahlul bid’ah seperti mu’tazilah, dan kisah perdebatan-perdebatan lainnya yang terjadi kepada para ulama demi untuk menampakkan kebenaran. Maka perdebatan yang seperti ini terpuji selama dimaksudkan untuk mencari kebenaran dan kita mau menerima kebenaran walau dari lawan bicara serta menjaga ukhuwah islamiyyah jika lawan yang kita ajak berdebat adalah saudara sesama muslim.
Kesimpulannya, perdebatan terbagi menjadi dua; perdebatan yang terpuji, dan perdebatan yang tercela. Perdebatan yang terpuji adalah perdebatan yang dimaksudkan untuk mencari kebenaran atau menyampaikan kebenaran melalui argumen-argumen yang dapat membantah kebatilan yang ada pada lawan bicara agar ia kembali ke jalan yang benar, namun harus dengan cara yang baik. Sedang perdebatan yang tidak terpuji adalah perdebatan yang tidak bertujuan untuk mencari kebenaran selain mencari kemenangan diri atau menampakkan kebolehan ilmu masing-masing, atau perdebatan tentang agama yang tidak didasari ilmu melainkan akal-akalan semata, atau perdebatan yang menyebabkan permusuhan dengan sesama muslim dan sebagainya.
Wallahu ta’ala a’lam
Penulis Arinal Haq