Pada zaman sekarang perdebatan marak dimana-mana, baik dari yang berilmu ataupun yang tidak berilmu, semuanya berbicara atas nama agama, bahkan orang awam belum belajar agama secara mendalampun sudah ikut angkat suara dalam berdebat masalah agama. Dan menyedihkan lagi terkadang argumen yang diutarakan oleh sebagian orang yang gemar berdebat hanyalah bersandar kepada logika semata tanpa didasari oleh ilmu agama atau tanpa merujuk kepada dalil atau pendapat ulama.
Hal ini dipicu oleh banyak faktor, misalnya perbedaan pendapat dalam banyak permasalahan agama yang tidak memiliki titik temu dalam satu pendapat. Atau dipicu oleh sebagian kalangan yang memang gemar berdebat dengan mengkorek-korek titik perbedaan untuk menjadi bahan untuk diperdebatkan, sehingga permasalah sepele yang seharusnya bisa saling kita maklumi menjadi sesuatu yang besar yang harus dipermalasahkan.
Dan sebab yang paling fatal yang memicu perdebatan adalah fanatik buta kepada madzhab atau ustadz atau kelompok tertentu, seakan-akan hanya kelompok yang dianutnyalah yang mewakili kebenaran sedangkan yang lain salah. Dan fanatik seperti inilah yang sangat berbahaya dan membuat setan bersenang riang, karena orang yang fanatik buta adalah lahan subur bagi setan untuk menyesatkan manusia. Orang yang fanatik buta akan mudah menolak kebenaran jika berasal dari luar kelompoknya dan menerima kebatilan jika berasal dari dalam kelompoknya. Bahkan yang menghalangi orang-orang musyrik dari petunjuk kebenaran adalah fanatik buta kepada agama nenek moyang, padahal akal sehat mereka membenarkan agama yang dibawa oleh para rasul alaihimussholatu wassalam. Dan alasan yang selalu mereka utarakan adalah sebagaimana Allah ta’ala firmankan:
وَكَذَٰلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِّن نَّذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَىٰ أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَىٰ آثَارِهِم مُّقْتَدُونَ
“Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatanpun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” (QS. Az-Zukhruf: 23).
Maka perdebatan dalam masalah agama harus dihindari jika tidak diniatkan untuk mencari atau menyampaikan kebenaran, karena madharatnya banyak. Apalagi jika hanya digunakan sebagai sarana untuk memenangkan diri sendiri atau kelompok dan mengalahkan orang lain. Begitu juga perdebatan dalam agama yang tidak didasari dengan ilmu dan dibangun diatas akal-akalan semata, karena orang yang demikian akan mudah diseret oleh setan ke jalan kesesatan.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengancam orang yang menuntut ilmu dengan tujuan untuk berdebat. Ka’ab bin Malik radhiyallahu‘anhu berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِىَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِىَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ النَّارَ
Barangsiapa yang menuntut ilmu dengan maksud untuk bisa mendebat ulama (untuk menampakkan keilmuannya di hadapan lainnya) atau untuk mendebat orang-orang bodoh (menanamkan keraguan pada orang bodoh) atau agar menarik perhatian yang lainnya (supaya orang banyak menerimanya), maka Allah akan memasukkannya kedalam neraka.” (HR. Tirmidzi).
Diantara perdebatan yang sangat dilarang adalah berdebat dalam masalah aqidah yang dapat menyusupkan keragu-raguan dalam keimanan seseorang. Misalnya berdebat dalam masalah qadha’ dan qadar, atau sifat-sifat Allah, atau hal-hal ghaib lainnya yang tidak ada penjelasan secara mendetail tentang hakekatnya di dalam Al-Qur’an ataupun Sunnah.
Karena membahasnya secara mendalam serta berkecimpung dalam mencari-cari hakekatnya dapat menjerumuskan seseorang kedalam jurang keragu-raguan dan kebingungan yang tidak ada manfaatnya. Dan perdebatan semacam inilah yang menjerumuskan sebagian kelompok-kelompok sesat seperti mu’tazilah, jahmiyah, jabariyah, qadariyah dan lain-lain ke jurang kesesatan.
Demikian juga tercelanya berdebat dengan orang-orang jahil (awam) yang tidak memiliki ilmu tentang agama atau ilmunya sangat minim, karena berdebat dengan mereka tidak akan menyampaikan kita kepada kebenaran selain capek. Kecuali jika ingin menyampaikan ilmu dan kebenaran yang tidak bisa tersampaikan kecuali dengan cara berdebat. Itupun jika ada harapan bahwa orang tersebut akan mengikuti kebenaran yan disampaikan kepadanya, jika tidak maka lebih baik ditinggalkan agar tidak menimbulkan permusuhan. Allah ta’ala berfirman:
وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-Anfal: 199)
Oleh karena itu banyak hadits-hadits yang memperingati kita untuk menjauhi perdebatan. Dari Abu Umamah radhiyallahu’anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوا عَلَيْهِ إِلَّا أُوتُوا الْجَدَلَ ثُمَّ تَلَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ الْآيَةَ: مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلَّا جَدَلًا بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ
“Tidaklah suatu kaum tersesat setelah tadinya mereka berada di atas petunjuk kecuali karena mereka adalah kaum yang senang melakukan perdebatan.” Kemudian beliau membaca ayat ini, “Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud berdebat saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.” (QS. Az-Zukhruf: 58) (HR. At-Tirmizi & Ibnu Majah)
<Dari sahabat yang sama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا وَبِبَيْتٍ فِي وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا وَبِبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ
“Aku akan menjamin sebuah rumah di tepi surga bagi siapa saja yang meninggalkan perdebatan meskipun dia yang benar. Aku juga menjamin rumah di tengah surga bagi siapa saja yang meninggalkan kedustaan walaupun dia sedang bergurau. Dan aku juga menjamin rumah di surga yang paling tinggi bagi siapa saja yang berakhlak baik.” (HR. Abu Daud no. 4800).
Ini adalah perintah untuk menghindari perdebatan, karena biasanya madharat perdebatan lebih besar dari manfaatnya. Bahkan tak jarang ia menumbuhkan kebencian dan permusuhan antara dua orang muslim atau dua orang saudara dan sebagainya yang sebelumnya tidak ada.
Maka perdebatan hendaknya dihindari. Oleh karena itu Imam Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah mengelompokkannya dari dosa-dosa besar, yaitu dalam kitabnya yang berjudul ‘Az-Zawajir ‘An Iqtirafil Kabair’ (Peringatan-peringatan dari perbuatan dosa-dosa besar), ia menulis satu bab yang berjudul: الْكَبِيرَةُ التَّاسِعَةُ وَالسِّتُّونَ: الْجِدَالُ وَالْمِرَاءُ وَهُوَ الْمُخَاصَمَةُ، وَالْمُحَاجَجَةُ، وَطَلَبُ الْقَهْرِ، وَالْغَلَبَةِ فِي الْقُرْآنِ أَوْ الدِّينِ (Dosa besar yang ke-69: ‘Perdebatan’, yaitu saling berselisih, beradu argument, mencari kemenangan dalam (membahas masalah) Al-Qur’an atau Agama).
Namun, bukan berarti berdebat dilarang secara mutlak, di sebagian keadaan ‘debat’ justru diperintahkan dan merupakan salah satu metode dalam berdakwah. Seperti berdebat dengan non muslim untuk menjelaskan kekeliruan agama mereka dan menjelaskan kebenaran islam, atau berdebat dengan orang islam yang berakidah sesat untuk mengajaknya kepada akidah yang benar dan lain sebagainya yang akan kita bahas pada artikel berikutnya.
Wallahu a’lam
Penulis Arinal haq
Artikel : www.hisbah.net
Assalamu’alaikum wr wb. Saya ingin bertanya tentang berdakwah yang memicu perdebatan. Beberapa waktu lalu di sebuah grup kepenulisan yang saya ikuti, bukan grup agama, tiba-tiba ada seseorang yang memposting masalah syirik yang menurutnya banyak dilakukan oleh orang Indonesia karena masih patuh pada tradisi. Postingan tersebut langsung memicu pro kontra antara anggota yg mmg berasal dari latar belakang dan agama yang berbeda. Terjadi debat kusir tak berujung dan saling mengolok pd akhirnya. Pertanyaan saya adalah sudah tepatkah sikap pendakwah tersebut?