Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah manusia paling cemburu terhadap perintah dan larangan Allah subhanahu wa ta’ala. Beliau tak akan tinggal diam dikala mengetahui ada kemungkaran, karena diamnya beliau terhadap sesuatu sedang beliau mengetahuinya adalah dalil akan kebolehan sesuatu tersebut, sehingga mustahil bagi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mendiamkan suatu kemungkaran sedang beliau mengetahuinya.
Adapun bagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengingkari suatu kemungkaran maka berbeda-beda sesuai keadaan dan lawan bicara. Menasehati sahabat senior yang sejak lama masuk islam dengan sahabat yang baru masuk islam tidaklah sama. Mengajari sahabat yang sehari-hari bersama beliau dengan mengajari orang badui yang tidak mengerti apa-apa serta berasal dari kehidupan yang keras di padang pasir juga berbeda. Sehingga sebelum Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengingkari suatu kemungkaran, beliau mengenali dulu sumber kemungkaran tersebut dan siapa pelakunya sehingga beliau bisa menyikapinya dengan bijak dan memberinya obat yang tepat.
Telah kita ketahui bahwa mengingkari kemungkaran ada tiga tingkatan sesuai hadits yang sangat terkenal dan sudah kita ketahui semua. Tingkatan pertama adalah mengingkari dengan tangan (tindakan) bagi orang yang mampu dan memiliki wewenang, kedua mengingkari dengan lisan bagi orang yang tidak memiliki wewenang namun bisa menasehati dengan lisan, dan yang ketiga adalah mengingkari dengan hati dengan membenci kemungkaran tersebut dan meninggalkan majelis dimana kemungkaran tersebut dilakukan, dan ini bagi mereka yang tidak mampu mengingkari dengan tindakan ataupun lisan. Dan semuanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam lakukan sesuai dengan keadaan sekeliling beliau.
Pada artikel ini kita akan membahas tentang contoh-contoh pengingkaran pada tingkatan kedua di kehidupan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, yaitu pengingkaran dengan lisan. Dalam mencegah kemungkaran dengan lisan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menggunakan banyak cara. Cara beliau ini dapat kita bagi menjadi dua kelompok besar; pertama adalah mengingkari pelaku kemungkaran secara langsung dengan berbicara dengannya baik menasehatinya, menegurnya, memarahinya dan lain-lain. Kedua tidak berbicara langsung kepada objek yang dituju namun menyinggung atau menyindirnya sehingga orang atau kelompok yang beliau maksud dapat memahami.
Cara pertama yang berupa pembicaraan secara langsung kepada orang yang beliau tuju juga dilakukan dengan berbagai macam cara tergantung pada keadaan orang yang diajak bicara, terkadang beliau menasehati dengan cara yang lembut, terkadang dengan tegas, dan terkadang dengan menampakkan amarahnya. Namun Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah marah dalam urusan pribadi beliau, beliau hanya marah tatkala perintah Allah dilanggar.
Beliau cenderung bersikap lembut kepada anak kecil dan orang-orang yang tidak mengerti, seperti dalam kisah Umar bin Abi Salamah yang dituturkannya sendiri:
“Waktu aku masih kecil dan berada di bawah asuhan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, tanganku bersileweran di nampan saat makan. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
« يَا غُلاَمُ سَمِّ اللَّهَ ، وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ » . فَمَا زَالَتْ تِلْكَ طِعْمَتِى بَعْدُ
‘Nak, bacalah ‘bismilillah’, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah makanan yang ada di hadapanmu.’ Maka seperti itulah gaya makanku untuk seterusnya.” (HR. Bukhari no. 5376 dan Muslim no. 2022)
‘Umar bin Abi Salamah radhiyallahu’anhu bercerita masa kecilnya saat beliau makan bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sedang beliau langsung makan tanpa membaca bismillah dan tangan beliau kesana kemari mengambil bagian makanan yang disukainya, ketika melihat itu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengajarinya dengan kata-kata yang sangat halus dan mengena sehinggga perkataan beliau diterima oleh Umar bin Abi Salamah radhiyallahu’anhu bahkan dijadikannya sebagai pegangan sampai ia besar.
Dikisah yang lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu’anhu ia bercerita: “Seorang arab badui berdiri dan kencing di Masjid, lalu orang-orang ingin mengusirnya. Maka Nabi shallallahu ‘alaihiwasallam pun bersabda kepada mereka: “Biarkanlah dia dan siramlah bekas kencingnya dengan setimba air, atau dengan seember air, sesungguhnya kalian diutus untuk memberi kemudahan dan tidak diutus untuk membuat kesulitan.” (HR. Bukhari No. 217).
Demikianlah kelembutan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepada anak-anak dan orang—orang jahil yang tidak mengerti agama.
Sikap lembut ini berbeda ketika orang yang melakukannya adalah seorang sahabat yang hidup bersama beliau dan mengerti agama, seperti dalam kisah Usamah bin Zaid radhiallahu’anhuma yang beliau tuturkan sendiri sebagai berikut:
بَعَثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْحُرَقَةِ مِنْ جُهَيْنَةَ قَالَ فَصَبَّحْنَاهُمْ فَقَاتَلْنَاهُمْ فَكَانَ مِنْهُمْ رَجُلٌ إِذَا أَقْبَلَ الْقَوْمُ كَانَ مِنْ أَشَدِّهِمْ عَلَيْنَا وَإِذَا أَدْبَرُوا كَانَ حَامِيَتَهُمْ قَالَ فَغَشِيتُهُ أَنَا وَرَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ قَالَ فَلَمَّا غَشِينَاهُ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَكَفَّ عَنْهُ الْأَنْصَارِيُّ وَقَتَلْتُهُ فَبَلَغَ ذَلِكَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا أُسَامَةُ أَقَتَلْتَهُ بَعْدَمَا قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّمَا كَانَ مُتَعَوِّذًا مِنْ الْقَتْلِ فَكَرَّرَهَا عَلَيَّ حَتَّى تَمَنَّيْتُ أَنِّي لَمْ أَكُنْ أَسْلَمْتُ إِلَّا يَوْمَئِذٍ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengutus kami ke Huraqah, yaitu wilayah bagian Juhainah, Usamah berkata; “Lalu kami memerangi mereka di waktu pagi, sementara diantara mereka ada seseorang apabila bertemu dengan kaumnya mereka menggencarkan permusuhannya dengan kami, namun bila kaumnya mundur ia berbuat baik pada kami.” Usamah melanjutkan; “Maka aku dan seorang Anshar berhasil mendekatinya, ketika kami telah dekat dengannya, serta merta ia mengucapkan; ‘Laa ilaaha Illallah‘, maka sahabat Anshar mengurungkan niatnya, sementara aku membunuhnya, ketika hal ini diberitahukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: ‘Wahai Usamah! apakah kamu membunuhnya padahal ia telah mengucapkan ‘La ilaaha illallalah?.‘ Aku menjawab; ‘Wahai Rasulullah, ia mengucapkan hal itu karena hendak berlindung dari pembunuhan (agar tidak dibunuh-red).’ Beliau mengulangi pertanyaan tersebut berkali-kali sampai-sampai saya mengharap andai saya baru masuk islam pada hari itu.” [HR. Ahmad No.20750].
Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memarahi Usamah bin Zaid radhiyallahu’anhuma yang terkenal sebagai ‘hibbu Rasulillah’ (kekasih Rasulullah) karena telah membunuh orang yang sudah mengatakan ‘laa ilaaha illallah’ atas dasar praduga bahwa orang tersebut mengatakannya hanya karena takut dibunuh. Rasululullah shallallahu alaihi wa sallam memarahi Zaid dan mengulang-ulang perkataan beliau sampai-sampai Zaid berangan-angan andai saat itu ia baru masuk islam. Karena jika sebelumnya ia kafir dan membunuh, kemudian masuk islam maka pembunuhannya tersebut dimaafkan dan ia akan memulai lembaran baru.
Yang telah disebutkan semua diatas adalah cara pertama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengingkari kemungkaran, yaitu dengan berbicara langsung sesuai dengan keadaan lawan bicara. Sedangkan cara beliau yang kedua untuk mengingkari kemungkaran adalah dengan menyinggungnya didepan para sahabatnya tanpa berterus terang tentang siapa yang dimaksud, dengan cara kedua ini pesan beliau bisa sampai kepada orang yang dimaksud tanpa harus berbicara langsung dengannya dan tanpa mempermalukannya dihadapan yang mendengar karena Rasulullah tidak menyebutkan siapa yang dimaksud. Dan cara yang kedua ini akan kami bahas pada artikel berikutnya pada ‘Cara-cara Rasulullah SAW Mengingkari Kemungkaran (2).’
Bersambung… … …