Bertanya adalah kunci ilmu, tanpa bertanya pintu ilmu tidak akan terbuka, sehingga pada asalnya bertanya adalah sesuatu yang dianjurkan. Dahulu para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam biasa bertanya kepada beliau dalam berbagai permasalahan agama kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab. Bahkan dalam beberapa keadaan beliau marah ketika sebagian mereka terburu-buru bertindak atau berfatwa sebelum bertanya terlebih dahulu.
Tapi ada pertanyaan-pertanyaan tertentu yang tercela untuk ditanyakan, biasanya pertanyaan yang tidak bermanfaat dan jika dijawab hanya akan menyusahkan si penanya sendiri.
Imam Syatibi rahimahullah menyebutkan macam-macam pertanyaan yang tercela yang dapat kami ringkas sebagai berikut:
Pertama, pertanyaan dalam hal agama yang tidak bermanfaat sama sekali. Contoh, sebagaimana yang telah diriwayatkan dalam kitab-kitab tafsir bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah ditanya, “mengapa terkadang bulan terlihat tipis seperti benang, kemudian ia terus bertambah sampai sempurna menjadi purnama, kemudian ia berkurang lagi dan kembali seperti semula?”. Maka Allah menurunkan firmannya yang berbunyi:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ ۖ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji…” (QS. Al-Baqarah: 189).
Orang tersebut dijawab dengan jawaban yang ada manfaatnya bahwa bulan adalah tanda waktu, dan dipalingkan dari jawaban tentang sebab bertambah atau berkurangnya bulan sebagaimana yang ditanyakannya.
Kedua, Bertanya lebih setelah ia sudah mendapatkan ilmu yang dibutuhkannya. Seperti dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi bahwa seseorang bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang haji setelah ia tahu bahwa hukumnya wajib, “apakah ia wajib bagi kami setiap tahun wahai Rasulullah?” Rasulullah diam tidak menjawab. Kemudian ia menanyakannya lagi, “apakah ia wajib bagi kami setiap tahun wahai Rasulullah?” maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Tidak! Andai saja saya mengatakan ‘iya’ niscaya haji akan wajib bagi kalian di setiap tahun dan kalian tidak akan mampu melaksanakannya.” Maka turunlah ayat yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِن تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu.” (QS. Al-Maidah: 101)
Ketiga, bertanya tentang illat atau sebab suatu hukum yang tidak bisa dicapai oleh nalar akal manusia. Misal bertanya mengapa jumlah shalat shubuh 2 dan dzhuhur 4, apa hikmah dibalik penetapan puasa wajib di bulan Ramadan mengapa bukan di bulan lain, mengapa amalan haji berupa mengelilingi ka’bah (thawaf) mondar-mandir antara bukit shafa dan marwah (sa’i) dan semacamnya dari pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan masalah ibadah yang tidak bisa dicapai oleh nalar manusia yang kita hanya diperintahkan untuk melaksanakan perintah-perintah Allah tersebut tanpa harus memaksakan diri untuk mencari apa dibalik perintah ibadah tersebut.
Keempat, bertanya dengan pertanyaan yang terlalu konyol yang berkesan memaksakan padahal tidak terlalu dibutuhkan. Dahulu ada seseorang yang bertanya kepada orang yang punya kolam, “apakah hewan juga minum dari kolam kamu?.” Umar bin Khatthab radhiyallahu’anhu yang mendengar pertanyaan tersebut berkata kepada pemilik kolam, “tidak usah kamu jawab pertanyaannya, sudah maklum bahwa kami minum dari tempat mereka minum (kolam) dan merekapun minum dari tempat kami minum.”
Inilah beberapa macam pertanyaan yang tidak dianjurkan untuk ditanyakan, dan masih ada lagi macam-macam pertanyaan lainnya yang kami paparkan pada artikel berikutnya.
Bersambung… …
Artikel : www.hisbah.net
Ikuti update artikel di Fans Page Hisbah.net
Twitter @Hisbahnet,