Hukum-hukum Seputar Puasa (bagian 3)

Alhamdulillah, pada bagian pertama dan kedua tulisan ini telah penulis sebutkan beberapa hukum sepetur puasa. Berikut adalah kelanjutannya,

  1. Orang yang tengah sakit boleh untuk tidak berpuasa di siang hari

ia mengqadha puasa yang ditinggalkannya pada hari yang lainnya. Demikian pula halnya wanita yang tengah hamil dan menyusui bila mana mengkhawatirkan dirinya atau mengkhawatirkan anaknya, keduanya tidak berpuasa namun mengqodha puasa yang ditinggalkannya. Hal demikian itu karena kedua kondisi tersebut sehukum dengan orang yang tengah sakit. berdasarkan firmanNya, yang artinya, “maka barangsiapa di antara kalian sakit atau tengah dalam  bepergian (lalu tidak berpuasa) maka ia mengganti (puasa yang ditinggalkannya) pada har-hari yang lainnya”.

Sakit yang boleh untuk tidak berpuasa adalah sakit parah yang tidak mampu untuk berpuasa, atau sakit yang justru akan bertambah bila penderitanya berpuasa, atau repot bila tetap berpuasa, atau dikhawatirkan akan memperlambat proses kesembuhan bila penderitanya tetap berpuasa. (lihat, al-Mughni, karya Ibnu Qudamah, 4/403). Adapun sakit yang ringan yang tidak akan merepotkan penderitanya bila mana tetap berpuasa, dan puasa juga tidak memberikan dampak negatif terhadap dirinya, maka ia tidak boleh untuk berbuka. Ia tetap wajib untuk berpuasa karena masuk dalam keumuman firmanNya, yang artinya, “ maka barang siapa di antara kalian ada pada bulan tersebut hendaklah ia berpuasa “.

  1. Haram bagi orang yang berpuasa untuk “rafats”

yaitu mengungkapkan kata-kata yang keji/kotor, melakukan jima’ dan pengantar-pengantarnya-, teriak-teriak, bertindak bodoh, berkata dusta dan melakukan kedustaan, mencela /mencaci.    Hal ini berdasarkan hadis Abu Hurairah -di dalam shahihain- bahwa Rasululllah-shallallahu ‘alaihi wasallam– bersabda,” puasa itu adalah perisai, pada hari kalian tengah berpuasa janganlah rafats dan jagan pula berteriak-teriak. Bila ada orang yang mencelanya atau mengganggunya, maka hendaklah ia mengatakan, sesungguhnya aku adalah orang yang tengah berpuasa.

Dan juga berdasarkan hadis Abu Hurairah di dalam shahihain, ia berkata, barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan melakukan kedustaan, niscaya Allah tidak butuh terhadap apa yang dilakukannya berupa meninggalkan makan dan minumnya. Imam al-Bukhari –di dalam kitab adab dengan redaksi, “barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan dusta dan tindakan bodoh, niscaya Allah tidak butuh terhadap tindakannya berupa meninggalkan makan dan minumnya.

  1. Dianjurkan bagi orang yang berpuasa untuk segera berbuka

Hal ini berdasarkan hadis Sahl bin Sa’ad –di dalam shahihain- bahwa Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “manusia akan tetap berada dalam kebaikan selagi menyegerakan berbuka”.   Hal demikian itu karena menyegerakan berbuka menunjukkan ketaatan kepada anjuran Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam– sedangkan mengakhirkannya menunjukkan tindakan berlebih-lebihan sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani. Dalam sunan Abu Dawud dan Ibnu Khuzaemah dan selain keduanya (disebutkan), “karena orang-orang Yahudi dan Nasrani mengakhirkan (berbuka)”. Ibnu Hibban dan al-Hakim meriwayatkan dari hadis Sahl dengan redaksi, “ummat ku akan tetap berada di atas sunnahku selagi mereka tidak menunggu-nunggu munculnya bintang untuk berbuaka puasa”.

  1. Dianjurkan untuk santap sahur dan mengakhirkan pelaksanaannya.

Allah azza wajalla berfirman, yang artinya, “Makan dan minumlah hingga jelas bagimu.”  (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu : fajar. (Qs. Al-Baqarah: 187)

Dalam hadis Ibnu Umar di dalam shahihaian, ia berkata, Rasulullah mempunyai dua orang tukang azan; bilal dan Ibnu Ummi Maktum seorang yang buta penglihatannya. Beliau bersabda, sesunggunya Bilal mengumandangkan azan pada waktu malam hari. Oleh karena itu, makan dan minumlah kalian hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan azan”. Hadis ini secara jelas menunjukkan bahwa Bilal mengumandangkan azan di malam hari sebelum terbit fajar kemudian Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan azan setelah itu bila mana fajar telah terbit. Terdapt ketarangan batasan waktu antara sahur dan azan di dalam hadis Zaid bin Tsabit, yaitu lamanya sekitar 50 ayat yang dibaca secara tartil. Didalam shahihain dari Zaid bin Tsabit, ia berkata, kami pernah sahur bersama Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam– , kemudian beliau bangkit untuk melaksanakan shalat (yakni, shalat subuh). Anas bin Malik bertanya: berapa lama rentang waktu antara azan dan sahur?  Zaed menjawab: sekitar 50 ayat.

Termasuk dalil yang menunjukkan dianjurkannya sahur dan mengakhirkan pelaksanaannya, adalah hadis Anas  di dalam shahihain, ia berkata, Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam– bersabda, “ sahurlah kalian karena di dalam sahur itu terdapat keberkahan”. Dan di dalam shahih Muslim dari Amru bin al-Ash bahwa Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam– bersabda, “pembeda antara puasa kita dan puasa ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) adalah santap sahur.

Sumber : الالمام بشيء من أحكام الصيام (Al-Ilmam Bisya-in Min Ahkami ash-Shiyam), Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Abdurrahman ar-Rajihi (Staff Dosen di Kulliyah Ushuluddin, Riyah, KSA, hal, 48-57 dengan ringkasan. Amar Abdullah

Artikel : www.hisbah.net

Ikuti update artikel di Fans Page Hisbah.net
Twitter @Hisbahnet,

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *