Hukum-hukum Seputar Puasa (bagian 1)

Dalam puasa terdapat beberapa hukum dan adab,  ada yang bersifat wajib dan ada yang bersifat sunnah. Di antaranya yaitu :

  1. Dilarang berpuasa sehari atau dua hari sebelum ramadhan sebagai bentuk berhati-hati terhadapat Ramadhan.  Hanya saja barang siapa bertepatan dengan  kebiasaan dirinya berpuasa, tidak bermaksud sebagai bentuk hati-hati terhadap Ramadhan, maka tidak mengapa baginya untuk berpuasa. Misalnya, seorang terbiasa puasa senin kamis, ternyata hari tersebut bertepatan dengan akhir bulan (sya’ban), begitu pula tidak mengapa bagi orang yang melaksanakan puasa yang wajib seperti puasa nazar atau kaffarat atau puasa qadha ramadhan tahun sbelumnya. Hal ini berdasarkan hadis Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda,   “janganlah kalian mendahului ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari sebelumnya, kecuali seseorang terbiasa berpuasa, maka silakan ia berpuasa pada hari teresebut“ (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
  2. Tidak sah puasa fardhu yang dilakukan tanpa disertai niat pada malam harinya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi, “siapa yang tidak berniat pada malam harinya sebelum terbit fajar maka tidak ada puasa baginya“ (HR. An-Nasai dan lainnya)
  3. Seorang yang berpuasa haram makan dan minum setelah jelas terbitnya fajar yang kedua. Maka barangsiapa makan minum dengan sengaja tanpa adanya uzur puasanya batal. Ia terancam dengan ancaman yang keras. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala, yang artinya, “dan makan minumlah kalian hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian, sempurnakanlah puasa hingga malam”. Jika ia melakukan hal tersebut, maka ia wajib mengqodha puasanya yang batal tersebut, disertai taubat yang benar, penyesalan dan meninggalkan tidakan tersebut pada kali yang lain.
  4. Barang siapa makan dan minum karena lupa, maka puasanya shahih (sah), ia tidak berkewajiban untuk mengqadhanya menurut salah satu dari dua pendapat ulama yang paling benar, karena dalam kondisi itu seseorang tidak memilki kaitan pada hal tersebut dan berdasarkan hadis Abu Hurairah, bahwa Nabi bersabda, “bila (orag yang tengah berpuasa) lupa lalu ia makan dan minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya. Karena, sesungguhnya Allahlah yang telah memberikan makan dan minum kepadanya (HR. Al-Bukhari). Dalam riwayat Muslim, dengan redaksi, “siapa lupa sementara ia tengah berpuasa, lalu ia makan atau minum maka hendaknya ia tetap menyempurnakan puasanya karena Allahlah yang telah memberinya makan dan minum”. Apa yang ditunjukkan oleh hadis tersebut yaitu bahwa tidak wajibnya untuk mengqodha puasa bagi orang yang makan dan minum saat berpuasa dalam keadaan lupa, merupakan pendapat yang benar yang merupakan pendapat mayoritas ulama. Sementara imam Malik berpendapat: tindakan tersebut membatalkan puasa dan ia wajib mengqodhanya pada hari yang lainnya. Barangkali hadis tersebut belum sampai kepada beliau sebagaimana dikatakan ad-Dawud (Fathul Baariy, 4/155)
  5. Barangsiapa menggauli pasangan hidupnya pada siang hari bulan Ramdhan sementara ia dalam keadaan berpuasa, maka batallah puasanya, bila mana ia sengaja melakukannya dan mengetahui (hukum ketidak bolehnnya) maka wajib atasnya untuk mengqodha puasa yang batal tersebut pada hari lainnya, ia wajib bertaubat, menyesalai dan tidak melakukan perbuatan yang sama pada kali lainnya, di samping itu ia juga berkewajiban untuk membayar kafarat, yaitu: memerdekakan seorang budak, bila tidak mendapati (atau tidak mampu) maka ia berpausa dua bulan berturut-turut. Bila tidak mampu, maka ia memberi makan 60 orang miskin. Hal ini berdasarkan hadis Abu Hurairah, ia berkata, ketika kami tengah duduk disisi Nabi tiba-tiba ada seorang lelaki yang datang lalu ia berujar, wahai Rasulullah aku telah binasa? Rasulullah bertanya : apa yang telah terjadi pada dirimu? dalam redaksi Muslim, gerangan apakah yang telah mejadikan engkau binasa?  lelaki tersebut menjawab, “ aku telah menggauli istriku sementara aku tengah berpuasa. Dalam riwayat muslim, aku telah menggauli istriku di (siang hari) bulan Ramadhan. (Mendengar hal tersebut) maka Rasulullah kembali bertanya: apakah engkau mendapati budak untuk engkau merdekakan? orang tersebut menjawab, “tidak“. Rasulullah bertanya lagi : kalau begitu mampukah engkau berpuasa dua bulan berturut-turut? laki-laki tersebut menjawab, “tidak”. Rasulullah bertanya lagi : kalau begitu apakah engku mendapati (kemampuan) untuk memberikan makan kepada 60 orang miskin? lelaki tersebut menjawab, “tidak”. Rowi berkata: lalu nabi diam sejenak. Ketika dalam kondisi demikian, tiba-tiba didatangkan kepada nabi setandan kurma. Lalu, beliau bertanya : mana orang yang tadi bertanya? sang laki-laki  pun menjawab, “saya”. Beliau bersabda, ambillah ini lalu bersedekahlah dengannya. Lalu lelaki tersebut berujar, “ apakah kepada orang yang lebih faqir daripada diriku? , demi Allah tak ada penghuni rumah yang berada di daerah bebatuan ini  yang lebih faqir daripada keluargaku. (Mendengar penuturannya) maka Nabi ketawa hingga gigi gerahnya kelihatan. Kemudian, beliau bersabda, “berilah makan keluargamu dengannya”.

Di dalam hadis ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa jima’ di siang hari bulan ramadhan yang dilakukan oleh orang yang tengah berpuasa yang telah dewasa, muqim, sehat, sengaja, dan ingat termasuk dosa besar berdasrkan pengakuan nabi terhadap ungakapan orang tersebut, “aku telah binasa“.

Bersambung, insya Allah…

Sumber: الالمام بشيء من أحكام الصيام (Al-Ilmam Bisya-in Min Ahkami ash-Shiyam), Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Abdurrahman ar-Rajihi (Staff Dosen di Kulliyah Ushuluddin, Riyah, KSA, hal, 29-43 dengan ringkasan.

Amar Abdullah

Artikel : www.hisbah.net

Ikuti update artikel di Fans Page Hisbah.net
Twitter @Hisbahnet,

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *