6 Pelajaran dari kisah “Dzatu Anwath”

عن أبي واقد الليثي : أن رسول الله صلى الله عليه و سلم لما خرج إلى خيبر مر بشجرة للمشركين يقال لها ذات أنواط يعلقون عليها أسلحتهم فقالوا يا رسول الله اجعل لنا ذات أنوط كما لهم ذات أنواط فقال النبي صلى الله عليه و سلم سبحان الله هذا كما قال قوم موسى اجعل لنا إلها كما لهم آلهة والذي نفسي بيده لتركبن سنة من كان قبلكم

“Dari Abu Waqid al-Laitsi radhiyallahu’anhu, dia menceritakan: bahwa rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam taatkala keluar ke Khoibar, beliau melewati sebuah pohon milik orang-orang musyrik yang dinamakan, “Dzatu Anwath”, mereka menggelantungkan senjata-senjata mereka pada pohon tersebut. Lalu, para sahabat berkata, “wahai Rasulullah jadikanlah untuk kami“ Dzatu Anwath sebagaimana mereka memiliki Dzatu Anwath. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Subhaanallah, ini seperti kata kaum Musa ‘jadikanlah untuk kami ilah seperti halnya mereka mempunyai ilah, Demi Dzat yang jiwaku berada di dalam genggaman tanganNya pastilah kalian akan mengikuti sunnah orang-orang sebelum kalian” (HR. at Tirmidzi, Abu ‘Isa berkata, “hadits ini hasan Shahih”).

Pembaca yang budiman…

Dalam hadis ini terdapat beberapa pelajaran yang bisa kita ambil di antaranya:

1. Bahwa orang-orang musyrik saat itu memiliki keyakinan yang keliru terhadap Dzatu Anwath, yaitu mereka menggantungkan senjata-senjata mereka dalam rangka mengharapkan keberkahan pohon tersebut mengalir kepada senjata-senjata mereka sehingga diharapkan senjata itu menjadi lebih tajam dan mendatangkan kebaikan yang lebih bagi orang yang membawa senjata tersebut

2. Bahwa mencari berkah kepada pohon adalah terlarang -bahkan termasuk syirik-, dan hal itu merupakan salah satu kebiasaan buruk umat-umat terdahulu yang sesat.

3. Terlarangnya meniru-niru kebiasaan jahiliyah

4. Bahwa kebatilan yang sudah terbiasa dan melekat dalam hati seseorang terkadang masih ada saja sisa-sisa kebatilan itu pada diri seseorang.

5. Disunnahkannya mengucapkan tashbiih ( subhanalloh ) ketika mengingkari atau heran terhadap sesuatu.

6. Bahwa yang menjadi pegangan -dalam menyikapi- adalah hakikat sesuatu bukan nama atau istilahnya. Kalau itu kebatilan maka tetap batil meskipun nama dan istilahnya berganti.

Allahu A’lam.

Sumber:

  1. Al Jami’ ash Shohih Sunan at Tirmidzi, Muhammad bin ‘Isa Abu ‘Isa at Tirmidzi as Sulamiy, penerbit : Daar ihya at Turots al ‘Arobiy- Bairut, tahqiq : Ahmad Muhammad Syakir
  2. Al Qaul al Mudiid ‘Ala Kitab at Tauhiid, al ‘Allamah Muhammad bin Sholeh al ‘Utsaimin, penerbit : Daar Ibnu al Jauziy, KSA, Cet.II, Muharrom 1424 H.
  3. At Ta’liiqoot al Baaziyah ‘ala Kitab Tauhid, disusun oleh : Ali bin Husain bin Ahmad Faqiihi, Anggota Dakwah di kota Riyadh.
  4. At Tamhiid Lisyarhi Kitab at Tauhiid, pelajaran yang disampaikan oleh Syaikh Sholeh bin Abdul Aziz bin Muhammad bin Ibrohim Alu Syaikh, Cet.I penerbit : Daar at Tuhiid, Tahun : 2003 M / 1424 H.

Artikel : www.hisbah.net

Ikuti update artikel Hisbah di Fans Page Hisbah
Twitter @Hisbahnet, Google+ Hisbahnet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *