Membangunkan Hati yang Tidur (Serial Kisah Pertaubatan, bag.6)

Membangunkan Hati yang Tidur
(Serial Kisah Pertaubatan, bag.6)

Ada orang berkata kepada Hasan al-Bashriy,
“Apa yang harus kami perbuat, ketika kami duduk-duduk dengan sekelompok orang yang menakut-nakuti kami sehingga hati kami seakan terbang ? ”
Beliau menjawab :
“Demi Allah. Bila kamu bergaul dengan sekelompok orang yang menakut-nakuti dirimu hingga akhirnya engkau mendapatkan ketenangan, itu lebih baik daripada engkau bersahabat dengan suatu kaum yang memberimu rasa aman hingga akhirnya engkau merasa takut…”
***


Setiap kali ia berbicara, persoalan kematian selalu terucap oleh lisannya, “Si Fulan begini, lalu meninggal dunia. Si Fulan juga meninggal dunia…”
Dalm suatu kesempatan aku bertanya kepadanya, “Apakah engkau tidak lelah mengulang-ulang berbicara tentang kematian ?”


Dengan lembut ia berkata, “Kematian itu cukup menjadi peringatan.”
Suatu hari aku menelponnya, “Kami akan mengunjungimu pada akhir pekan, tetapi dengan syarat, jangan melelahkan dirimu sendiri.” “Capai demi kamu adalah kesenangan. Engkau memiliki kecintaan dalam hatiku.” Potongnya. Aku menambahkan persyaratan lain, “Jangan engkau berbicara tentang …” “Kematian.” Katanya mendahuluiku. Akhirnya ia setuju, setelah saling berbicara diselingi dengan kegembiraan…


Aku melanjutkan, “Bila aku meninggal dunia, jangan ceritakan kisah kamatianku.” Jawabnya, “Sudah kukatakan, bahwa bila mereka memuji kehidupan, mereka akan banyak menyebut kematian dengan seribu keutamaan yang tidak diketahui…”
Istriku memberitahu tentang janji kunjungan tersebut, “Ia amat gembira ketika kuberitahukan hal itu”, kata istriku.


Aku tersenyum dan berkata, “Apakah engkau sudah minta syarat agar ia tidak berbicara tentang kematian dan seorang Mukmin pasti memegang janjinya ?”
Istriku menyela dengan semangat yang kental,”Persyaratan itu untukmu, Adapun untukku, tidak ! Aku setiap kali berkunjung, semangatku dalam beribadah bertambah. Semoa Allah membangunkan hatimu…”


Kita memang selalu lupa dan lupa, sehingga dialah yang mengingatkan kita. Lihatlah perbuatannya, agar engkau mengetahui faedah mengingat mati. Di saat diam ia selalu bertasbih dan beristighfar, ia melakukan shalat malam lebih banyak daripada yang kulakukan dan yang engkau lakukan, padahal ia lemah dan sakit-sakitan. Ia tidak pernah meggunjing siapa pun. Ia hanya tersenyum dalam kebenaran. Bila ia melihat selain dari kebenaran, ia akan menolak dengan santun atau menundukkan kepalanya. Ia beramal dengan santai dan tidak banyak bicara. Ia tidak pernah mengatakan, “Aku berbuat begini dan begitu.” Suatu sikap tawadhu’ yang menakjubkan dengan menyembunyikan amal baik. Di mana pun ada kebaikan, ia selalu mencarinya dan menunjukkannya kepada orang lain.
Dalam kunjungan kami…


Pandangan-pandangan kami seolah mengingatkannya pada persyaratan tersebut. Ia betul-betul menunaikan janjinya, meskipun sebenarnya aku bercanda. Ia memuliakan kami, semoga Allah memuliakan dirinya.


Ia sungguh telah mengangkat derajat kami, semoga Allah mengangkat derajatnya bersama para Nabi, para Siddiqin, dan para Syuhada.
Ia barcerita bahwa suaminya, bila lupa telah membawa sebuah pulpen dari kantornya, atau meminjamnya dari salah seorang teman, segera ia menulis di sebuah kertas kecil dan meletakkannya di ruang keluarga, agar ia bisa terbebas dari kewajibannya, dan demi mengembalikan hak itu kepada pemiliknya.


Aku menyadari, bahwa itu adalah persiapan untuk menghadapi sesuatu yang datang tiba-tiba, mencabut nyawa dengan sekonyong-konyong. Kisah kematian itu melambai-lambai dari kejauhan, meski ia sudah menjalankan persyaratanku…
Aku demikian takjub, “Hanya untuk sebuah pulpen ia sempat menulisnya !! Bagaimana diriku dibandingkan dengannya ?” Bila hal ini diceritakan oleh selain dia, aku tidak akan mempercayainya dengan begitu mudah. Atau aku akan mengira bahwa itu sikap wara’ yang diriwayatkan dari generasi awal-awal Islam dahulu.


Suatu hari, aku bertanya kepadanya dengan bercanda, “Berapa rakaat engkau shalat pada saat shalat malam ?” Ia menjawab, “Engkau tahu, bahwa witir itu adalah sunnah yang ditekankan, tidak layak bagi seorang Muslim meninggalkannya. Barangsiapa yang terus menerus meninggalkannya, maka kesaksiannya tertolak.”
Ia tersenyum, dan melanjutkan, “Engkau menganggap segalanya terlalu banyak. Dahulu, para ulama Salaf bila umurnya sudah mencapai empat puluh tahun, ia melipat kasurnya. Mereka melakukan hal itu, padahal mereka adalah orang-orang yang shaleh pada umur sebelumnya. Bagaimana denganmu…?

Wallahu A’lam
Sumber :
“Az-Zaman al-Qaadim”, karya : Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim (ei, hal. 92-94).

Amar Abdullah bin Syakir

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *